Pendahuluan
Tak nyangka, bangga bercampur ketidakpastian dalam situasi yang
sulit, situasi yang gundah gulana terus menghantui ketidaktenangan dalam
menghadapi wabah Corona Virus Disease
yang kemudian lebih dekat dipanggil Covid-19. Virus yang konon berasal dari
Wuhan-Cina telah membuat kehidupan serba dalam ke-was-was-an. Virus yang cepat
menyebar menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tak terkecuali berbagai
kampus di Tanah Air turut mengambil kebijakan agar perkuliahan dilakukan dengan
model pembelajaran dalam jaringan (daring). Hal ini dilakukan sebagaimana
kebijakan yang diambil oleh Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI.
Dalam menyikapi situasi ini, banyak waktu yang tidak terpakai,
jika hanya sekedar belajar dari rumah, kerja dari rumah, dan ibadah dari rumah.
Banyak waktu yang bisa digunakan agar lebih produktif, disamping ikhtiar terus
dipanjatkan pada Sang Pemilik Kehidupan dan kematian. Salah satu kehadiran buku
sederhana dan ‘cukup’ memiliki makna bagi yang ingin memaknai sebuah karya
bersama yang cukup lama dipendam dengan berjibunnya waktu hampir tak
terkendalikan.
Narasi ini mungkin bisa kita sebut sebuah prolog dalam menyambut
kehadiran sebuah buku. Buku yang berawal dari tumpukan tugas matakuliah yang
lebih berorientasi pada nilai-nilai karakter (kepribadian) yang meliputi;
Jujur, Adaptif, Toleran, Inovatif, Disiplin, Integritas, Religius, dan Inklusif
yang disingkat JATIDIRI. Nilai yang diejawantahkan dalam berbagai muatan materi
seperti; nilai perjuangan PGRI, sejarah perjalanan kampus, kehidupan multikulturalisme-Pluralis,
pendidikan anti korupsi ini kemudian disebut Matakuliah Jatidiri Kanjuruhan.
Sebuah matakuliah yang berorientasi pada pengembangan ketiga aspek
pembelajaran yakni; kognitif, afektif, dan psikomotorik terus melakukan hal-hal
yang tak banyak dilakukan sebelumnya. Pembelajaran bukan sekedar transfer knowledge, namun memberikan
pengalaman yang berdampak pada kehidupan yang akan datang menjadi sebuah
keniscayaan di abad 21 ini. Pembelajaran yang mengedepankan pembentukan
karakter JATIDIRI harus menjadi garda terdepan dalam merawat keberagaman
ditengah arus Revolusi Industri 4.0 yang menembus segala lapisan kehidupan ini.
Berawal dari ketidakyakinan
Berawal dari amanah yang diberikan pada saya pribadi, sekitar
tahun 2015 akhir, saya membantu mengajar salah satu dosen matakuliah ini yang
sama sekali belum pernah bertemu baik di S1 maupun S2 dengan matakuliah ini.
Bermodalkan diskusi/sharing dengan dosen yang bersangkutan seputar orientasi
matakuliah ini, sesekali saya minta petunjuk pada yang bersangkutan, dan
akhirnya saya memberanikan diri untuk ikut andil dalam membantu almamater yang
saya cintai. Pengampu matakuliah ini biasanya diampu oleh dosen tertentu dengan
kapasitas intelektual yang mumpuni, dan memiliki track record yang jelas baik dalam keorganisasian maupun aktivitas
sosial keagamaan.
Waktu terus berjalan, belajar pun tak boleh padam. Berbagai
terobosan saya coba lakukan dalam pembelajaran ini. Saya sebagai dosen pemula
dan harus banyak belajar hanya berpikir bagaimana matakuliah ini memberikan ‘efek
domino’ dalam kehidupan yang akan datang pasca perkuliahan. Mulai diskusi,
pagelaran, analisis film pendek, hingga membuat opini pun coba dilakukan.
Semata-mata hanya ingin membentuk karakter sebagaimana dalam capaian pembelajaran.
Sehingga menghasilkan lulusan yang tak hanya mengandalkan ijazah semata, namun
ia menjadi berkah pasca kuliah dalam kehidupan masyarakat multikultural. Nah,
sebenarnya esensi suatu pembelajaran adalah menyiapkan bekal mereka (peserta
didik, red) dimasa yang akan datang agar memberikan manfaat bagi kehidupan
kelak. Pembelajaran berorientasi pada nilai (angka) sudah saatnya ditinggalkan,
disamping pembentukan karakter (kepribadian), mengikat makna dalam tulisan
menjadi keniscayaan sebagimana ungkapan Sahabat Ali bin Abi Tholib “ikatlah
ilmu dengan menulis”.
Mulai meramu pembelajaran, tatkala melihat keberagaman yang ada di
kelas menjadi dorongan untuk memberikan pembelajaran yang baik dengan
memperhatikan keberagaman (pluralitas) yang hidup di kampus multikultural.
Pembelajaran keberagaman banyak ditemukan dalam aktivitas kehidupan kampus baik
aktivitas keagamaan maupun kemahasiswaan.
Kendati demikian, merawat keberagaman tak hanya dicekoki berbagai
teori. Mengajak untuk melihat secara langsung adalah kebutuhan dalam setiap
individu agar keberagaman terpatri dalam sanubari individu. Untuk itulah, pada
tanggal 17 Nopember 2019 pembelajaran matakuliah ini dilakukan dengan model Live in Gereja Katolik Santo Yohanes
Pemandi. Momentum hari toleransi se-dunia (17/11) menjadi momen penting dalam
membangun kesadaran kolektif akan keberagaman yang mesti kita rawat bersama.
Setelah melihat secara langsung ibadah umat Katolik, kemudiaan dilanjutkan
dialog atau sharing session bersama RD.
Alfonsus Krismianto mulai bicara Gereja Katolik, Keuskupan, dan Paroki sampai
11 lingkungan Katolikan, termasuk konsep Tri Tunggal sebagai pembuka dalam
sharing session. Terlihat sangat antusias mahasiswa untuk mengetahui bagaimana
Katolik merawat keberagaman yang hakiki antar umat beragama.
Tak sedikit yang bertanya hal-ikhwal live in di Gereja yang dilakukan pada matakuliah ini. Ada yang
datang dari mahasiswa, teman sejawat (dosen), teman akrab, bahkan ada yang
berpotensi menghujat dalam bentuk pertanyaan. Misalnya; Apakah Anda menjamin
setelah mereka dari gereja, lalu tidak pindah agama?,”ini pembelajaran mengarah
pada pe-murtad-an”, ujarnya. Maklum, kekhawatir pertanyaan itu dilihat dari
mahasiswa yang terlibat juga banyak yang muslim. Seolah saya melakukan
kristenisasi atau menggiring pada liberalisme. Padahal, tak semudah itu melebelisasi
seseorang murtad dan tidaknya. Kita mesti tahu hal-ikhwal apa maksud dan tujuan kegiatan itu dilakukan. Lalu
mengapa perlu dilakukan dan esensi apa yang ingin dicapai? Jika itu diuraikan
secara rasional dan objektif, maka sangat mungkin perbedaan tak lagi
pertentangkan, perbedaan akan menjadi rahmat dengan perjumpaan nilai-nilai
agama yang menyejukkan. Meminjam istilah Gus Dhofir dalam bukunya ‘Kondom
Gergaji’ yang menyebutkan Hanya orang ‘bersumbu pendek’ dan ‘berotak cingkrang’
yang alergi dengan perbedaan.
Saya memiliki keyakinan, bahwa pindah agama bukan karena masuk
gereja, bukan pula karena mengikuti Live
In. keimanan lah yang akan mengoyahkan keyakinan kita dalam Beragama.
Beragama tidak hanya legal-formal, spritualitas semata. Nilai keagamaan kita
harus menjadi ruh dalam kehidupan beragama. Seperti yang ditegaskan KH. Said
Aqiel Siradj (Ketua Umum PBNU), dalam buku ‘Membela Kebebasan Bergama’ karya
Budhy Munawar-Rachman halaman 1399, “Semangat toleransi, saling menghargai,
semangat pluralis antar umat beragama harus terus diperjuangkan dan dipupuk.
Bukan hanya sikap toleran, tapi kita juga harus memahami budaya mereka.
Artinya, multikulturalisme itu pun harus dijaga.” Ini mengingatkan pada kita
bahwa Indonesia dibangun bukan atas nama agama, apalagi satu agama. Indonesia
dibangun atas keberagaman yang tak banyak dimiliki oleh bangsa lain.
Keberagaman Indonesia merupakan sebuah anugerah dari Tuhan Yang
Maha Adil dan Bijaksana. Indonesia yang indah akan terus memancarkan sinar
keindahan ditengah masyarakat multikultural. Masyarakat yang terus mengibarkan
panji-panji kedamaian dan ketentraman bagi keberlangsungan umat manusia agar
senantiasa tercipta kehidupan toleran, pluralis, dan berkeadaban. Keberagama
ini tentuk menjadi nilai dan harapan bagi Bangsa Indonesia dalam merajut benang
persatuan sebagaimana yang diamanahkan dalam pancasila.
Berakhir Mengembirakan Pasca Pembelajaran
Tak banyak berharap dalam
pembelajaran matakuliah ini. Sejak awal matakuliah ini menekankan pada
pengembangan kepribadian (karakter). Matakuliah ini merupakan salah satu rumpun
Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang wajib ditempuh setiap mahasiswa
Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama). Meski kadang, dalam pembelajaran harus
memperhatikan kemampuan setiap individu, terutama kemampuan dalam memahami
materi. Sehingga tak jarang, sebelum melakukan Live in, pembelajaran diupayakan berbasis diskusi film pendek
seputar kehidupan pluralisme, toleransi agar lebih efektif dalam memahami
sekaligus memaknai keberagaman yang ada disekitar kita.
Dari Live in, yang bermula mereka canggung, resah dan gelisah, bahkan takut
karena akan memasuki Gereja kali pertama bagi yang muslim. Tak hanya itu,
was-was pun terus menghantui, penjelasan demi penjelasan saya lakukan baik
dalam kelas, maupun melalui WhatsApp
Group agar kegiatan bisa berakhir mengembirakan. Pertemuan dengan pihak
Gereja terus dilakukan secara intensif agar maksud dan tujuan bisa tercapai
dengan semangat yang sama.
Berbuah manis meskipun tak semanis
madu hutan. Dari pembelajaran selama satu semester, berbagai pengalaman yang mereka
bawa dari kampung halaman hingga diafirmasi di kampus multikultural. Perlahan
namun pasti, proses belajar, memahami, mengayomi, berdiskusi tak luput dari
aktivitas pembelajaran. Diakhir perkuliahan mereka membuat opini atas
pengalaman selama menempuh matakuliah ini atau hal lainnya yang terafirmasikan
dengan matakuliah. Mereka menulis apa yang mereka rasakan sebelum menempuh
matakuliah ini sampai pasca mengikuti perkuliahan selama 1 semester. Meminjam
istilah Prof. Dr. Syamsul Arifin, metode ini sering disebut dengan The Most Significant Change, adalah salah
satu metode untuk menilai keberhasilan sebuah program yang dilakukan. Metode
ini kerap kali digunakan untuk mengevaluasi program-program yang
diselenggarakan oleh NGO, khususnya yang berorientasi pada perubahan dan
transformasi sosial tertentu.
Menulis opini apa yang telah
dirasakan atau bahkan perubahan apa yang terjadi menjadi penting untuk mengukur
seberapa bermanfaat suatu matakuliah bagi kehidupan sekarang dan yang akan
datang. Karena sekali lagi pada matakuliah ini tak hanya mengukur pada aspek
kognitif semata, tapi internalisasi nilai (karakter) JATIDIRI dalam kehidupan
sehari-hari menjadi hal yang terus kita dorong agar keberagaman ini terus
terpupuk dan terjalin dengan baik antar umat beragama.
Dari survey/kuisioner yang disebar usai
semesteran, tepatnya 2 minggu setelah pelaksanaan UAS, maka didapatkan data
dari 102 responden sebagai berikut; 55.9% matakuliah ini sangat bermanfaat
untuk kehidupan yang datang, sementara pembelajaran model Live In sangat menarik hingga mencapai 57.8%, dan materi yang
disajikannya pun 54.9% sesuai dengan kehidupan dimasyarakat. Banyak pula yang
memberikan saran konstruktif pada pembelajaran matakuliah ini, misalnya; lebih
banyak kegiatan Live In untuk
menambah wawasan dan toleransi terhadap agama lain, ada yang menginginkan matakuliah
ini ditempuh pada semester awal, dan mereka berharap matakuliah ini lebih
banyak melakukan aktivitas diluar kelas terutama dalam membangun keberagaman.
Data tersebut setidaknya menjadi evaluasi bagi saya secara pribadi agar terus
berinovasi dalam pembelajaran yang akan datang lebih bermakna dan
mengembirakan.
Sepuluh kelas yang saya ampu, tak surut sedikitpun semangat untuk
membaca tulisan (tugas opini) mereka yang mendarat di meja kerja. Beragam
tulisan, mulai dari hanya sekedar mengumpulkan, hingga serius menuliskan
pengalaman demi pengalaman mulai dari kampung halaman, hingga realitas
kehidupan di kampus mereka potret dengan bahasa sendiri. Dari membaca dan
memahami (koreksi) ada sekitar 30 tulisan (opini) yang menarik, inspiratif, dan
sarat dengan pesan moral, meski beberapa tulisan harus ‘dipermak’ kembali agar
lebih tertata dan lebih pantas menjadi buku ontologi yang kemudian diberi judul
‘Merajut Keberagaman: dari kampung halaman sampai kampus multikultural’.
Buku yang tengah ada ditangan Anda merupakan buah pembelajaran
Matakuliah Jatidiri Kanjuruhan selama satu semester (Ganjil 2019/2020) yang
dirasa penting untuk menjadi bukti nyata keberadaan matakuliah sangat
memberikan dampak positif (The Most Significant Change) pada perubahan baik
pola pikir, pola sikap, pola rasa dalam menghidupkan kembali nilai-nilai
keberagaman berdasarkan Ideologi Pancasila ditengah masyarakat multikultural
ini.
Pada akhirnya, saya berterima kasih pada Bapak E. Kukuh
Widijatmoko Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Malang yang juga Dosen
Pendidikan Agama Katolik Unikama yang menghibahkan waktunya untuk memberikan
epilog pada buku ini, koordintor MPK, BapaK Suryantoro yang mempercayai saya
untuk mengampu matakuliah ini. Tak terlupakan pada segenap sivitas Unikama yang
terus memberikan dorongan dan kepercayaan pada saya sebagai dosen pemula yang
terus belajar dengan keadaan dan diterpa dengan waktu bertubi-tubi. Dan yang
paling membanggakan seluruh mahasiswa yang menempuh matakuliah ini, tetap
semangat pagi, belajar lah diluar ruang kelas, tak hanya dalam kelas. Terus
benturkan dirimu dengan kegiatan yang berdampak pada pengembangan diri yang
lebih baik dan bermartabat. Hampir terlupakan segenap Tim Pusat Studi Pancasila
dan Multikultural (PSPM) Unikama yang banyak memberikan ruang diskusi,
pencerahan dalam meramu pembelajaran, khususnya Bapak I Wayan Legawa yang juga
Kepala PSPM turut andil dalam kegiatan Live
in di Pura Dwijawarsa Buring Malang yang berlangsung penuh kegembiraan dan
berakhir makan-makan.
Demikian kata pengantar sederhana ini, semoga kita semua, khususnya para pembaca, mendapatkan pencerahan dan inspirasi dari narasi-narasi sederhana yang disajikan oleh para author (penulis) yang merupakan mahasiswa dari berbagai program studi dan angkatan yang notabene masih butuh bimbingan dari waktu ke waktu untuk terus belajar, menulis, dan belajar. Saya ucapkan selamat dan tahniah atas terbitnya buku ini. Selamat membaca…semoga mengembirakan kita semua…
*Romadhon adalah Dosen Pengampu Matakuliah Jatidiri Kanjuruhan di Unikama