Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

IMPOR GURU SEBAGAI BENTUK PENJAJAHAN BARU?




Oleh : Romadhon AS
(Dosen PGSD Universitas Kanjuruhan Malang dan
Penulis Buku ‘Hitam Putih Pendidikan Kita)

Pendidikan sebelum dan sesudah Pemilihan Umum (pemilu) selalu menarik perhatian bagi setiap calon baik legislatif maupun eksekutif. Ketertarikan pada dunia pendidikan bukan hanya karena kondisi carut marut pendidikan. Melainkan massa pendidikan ini yang sangat signifikan untuk meraup suara. Berbagai organisasi kependidikan telah menjamur di Republik ini. Tak hanya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGR) yang merupakan satu-satunya organisasi profesi guru, namun berbagai ormas keagamaan yang memiliki lembaga pendidikan ikut andil menghimpun kekuatan massanya.

Lalu, apakah guru terpecah belah? Hingga kualitas pendidikan kita rendah. Hal ini yang terus menjadi perdebatan dimuka publik baik sebelum pemilu maupun pasca pemilu. Padahal esensi dari keberlangsungan pendidikan tak lain butuh keadilan dan kesejahteraan. Jika keadilan terhadap guru bisa terealisasi dengan regulasi yang tepat, tidak deskriminasi, maka seyogyanya pendidikan berjalan sesuai khittahnya. Menyiapkan generasi cerdas, pembelajaran berkualitas adalah ekspektasi seluruh stakoholders pendidikan kita. Apakah guru kita tak berkualitas?
Persoalan ini akan terus ‘gurih’ digoreng kapan saja dan dimana saja. Tak seperti ‘gorengan’ atas bencana nasional pasca 17 April 2019 yang telah memakan korban meninggal sekitar 578 orang petugas KPPS, belum yang sedang dalam perawatan medis. Tak ada maksud untuk mempolitisasi bencana nasional ini. Dalam pandangan penulis, ini bukan semata pahlawan demokrasi yang kemudian diberikan penghargaan. Namun, dibalik itu mestinya harus diungkap musabab tragedi ini. Karena  bukan 1, 2 orang, melainkan jumlah yang sangat besar dan serentak korbannya adalah petugas KPPS. Sehingga menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pemilu serentak 5 tahun yang akan datang. Pertimbangan itu bisa dari sisi system kepemiluan, psikologis petugas, dan sosiologis masyarakat Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu.
Fenomena diatas apa relevansinya dengan kondisi pendidikan kita? Setidaknya, aspek pendidikan akan menjadi pertimbangan dalam seleksi petugas KPPS. Karena petugas yang berkulitas akan menghasilkan kualitas penyelenggaraan yang berkualitas pula. Bukan berarti penyelenggaraan pemilu kemarin (17/4) tak berhasil. Lagi-lagi semua kegiatan termasuk penyelenggaraan pemilu akan terus dievaluasi agar mendapatkan feedback atau rekomendasi atas kegiatan yang akan datang, begitu dan seterusnya.
Pendidikan akan terus dimonitoring dan dievaluasi sejauh mana perjalanan pendidikan di Indonesia. Sehingga akan menghasilkan kualitas yang diharapkan semua pihak. Konon, Indonesia mengirim guru ke Negara tetangga, Malaysia untuk membantu menyiapkan pendidikan yang baik pasca kemerdekaannya. Bahkan pendidikan Indonesia menjadi kiblat bagi pendidikan di beberapa Negara. Lalu, apakah Indonesia akan mengimpor guru dari luar? Seberapa gentingkah kondisi pendidikan kita sehingga mendatangkan guru dari luar? Ataukah guru-guru kita sudah tak mampu menyiapkan pembelajaran berkualitas untuk menghasilakn generasi emas di tahun 2045? Ini pertanyaan yang mesti kita renugkan termasuk para pengambil kebijakan di Negeri ini.
Pertanyaan diatas sering munculnya wacana yang dilontarkan Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Puan Maharani. Puan, sapaan akrab dalam sambutan di Musrenbangnas (10/5) di Jakarta mengatakan “kita ajak guru dari luar negeri untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia” yang dilansir oleh beberapa media online. Pada pernyataan ini, secara eksplisit sudah mulai muncul ketidakpercayaan pemerintah terhadap guru dalam negeri untuk mengajarkan ilmu yang relevan era kontemporer ini. Padahal apa yang menjadi kebutuhan dalam negeri, tentu yang lebih tahu dan paham adalah Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri.  Perkembangan ilmu dan teknologi sudah menjadi keniscayaan dalam mengahdapi era Revolusi Industri 4.0 agar bangsa ini terus siap bersaing. Untuk terus bersaing, penulis berpendapat tak harus mendatangkan dari luar apalagi hanya sekedar mengajarkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia.
Apa yang menjadi persoalan pendidikan kita, harus dilihat dari hilir hingga hulu. Kebijakan pemerintah harus memperhatikan suara guru tanpa pandang bulu. Karena kebijakan memberikan efek domino pada keberlansungan pendidikan dan kekuatan guru. Jika yang diharapakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, adalah melatih guru lokal, adakalanya dilakukan pemetaan terhadap hal apa yang perlu dilatih. Sementara program sertifikasi guna meningkatkan kualitas dan profesionalisme telah lama dijalankan. Bahkan sebagai bentuk pengembangan dari sertifikasi muncullah apa yang disebut Pendidikan Profesi Guru (PPG).
PPG merupakan kebijakan yang tak lama sudah dimulai sebagai pengejawantahan dari pengembangan profesi. Jika PPG diaggap kurang optimal dalam menyiapkan guru yang profesional, maka pemerintah perlu merekonstruksi pola penyelenggaraan termasuk Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK). LPTK yang menjadi kawah candradimuka dalam menyiapkan calon guru yang sesuai kebutuhan zaman harus berbenah diri mulai manajemen hingga pengajar (dosen). Setidaknya dalam hal dosen, harus memiliki kualifikasi tertentu. Misal, minimal doktor dan memiliki pengalaman jadi guru yang berprestasi. Hal ini sebagai pemicu agar calon guru bisa lebih terpatri memahami seluk beluk profesi guru.
Jika dalam hal pendidikan vokasi, sebagaimana yang disampaikan Mendikbud dalam mengafirmasi pernyataan Menteri Puan. Pemerintah bisa menyiapkan sekolah yang minim akses kerjasama dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Mengingat, tak semua sekolah di Indonesia memiliki akses itu, terutama sekolah swasta. Untuk itulah pemerintah ambil kebijakan untuk mempercepat pendidikan vokasi menjadi pendidikan pilihan utama dalam menyiapkan generasi siap kerja dan siap bersaing.
Guru sebagai profesi telah banyak mengalami perubahan dalam diri mulai diklat hingga studi banding ke beberapa sekolah baik dalam negeri maupun luar negeri. Ini sebagai wujud keseriusan seorang guru dalam mengembangkan diri. Persoalan yang sering muncul adalah setumpuk administratif yang harus disiapkan guru. Sementara itu, administrasi yang selalu menghantui pekerjaan utama yakni mengajar dan mendidik jauh kalah saing dengan urusan adminitrasi. Apalagi administrasi sebagai syarat dalam penentuan berbagai tunjangan profesi. Ini yang mestinya harus dipangkas oleh pemerintah agar guru lebih mengoptimalkan pengembangan diri baik dalam pembelajaran maupun pengembangan peserta didik.
Sementara memasuki era Bonus Demografi, Romadhon dalam bukunya Hitam Putih Pendidikan (2015: 33-34) mengungkapkan setidaknya ada 4 langkah strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan, antara lain; Pertama, optimalisasi anggaran pendidikan 20% APBN untuk peningkatan kuliatas SDM. Utamanya yang masuk dalam bursa kerja dengan memperbanyak cakupan pendidkan kejuruan dan keterampilan. Kedua, revitalisasi kebijakan pendidikan dunia kerja, guna memenuhi tantangan revolusi industri 4.0 termasuk siap menghadapi pasar bebas asia pasifik yang digagas oleh APEC. Ketiga, pemerataan pendidikan seluruh wilayah Indonesia. Hal ini guna melakukan pemetaan kualitas dan fasilitas yang memadai sebagai penunjang pembelajaran di era revolusi industri 4.0. keempat, penguasaan teknologi bagi seluruh stakeholder. Ini menjadi keniscayaan dalam era yang serba digital. Mau tidak mau, teknologi akan menjadi hal penting dalam pendidikan. ‘Jika ingin menguasai dunia, maka kuasai teknologi’, demikian ungkapan kata bijak.
Lalu, apakah impor guru adalah keputusan yang tepat bagi tantangan pendidikan kita. Penulis berpendapat, yang menjadi persoalan bukan pada impor guru. Melainkan revitalisasi seluruh komponen adalah hal yang menjadi strategi mendasar dalam peningkatan kualitas. Karena tak semua yang berbau luar negeri adalah hal baik. Indonesia punya nilai kearifan lokal yang sangat mungkin nilai ini akan menjadi keunggulan pendidikan kita. Mengingat, generasi saat ini sedang dijajah dalam tiga hal, yaitu dalam hal pakaian (fashion). Hal ini telah kita ketahui bersama, model pakian kerap kali tak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Hal lainnya seperti makanan (food) dan Hiburan telah menjadi konsumsi generasi saat ini. Padahal rusaknya moral generasi bukan serangan bom bunuh diri atau terorisme melainkan bobroknya moral bangsa yang dimulai dari generasinya.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah fokus dalam pembenahan ekosistem pendidikan kita. Mulai dari regulasi, manajemen, SDM, fasilitas, hingga menjamin peserta didik layak mendapatkan layanan pendidikan yang sebagaimana amanah dalam UUD 1945 dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal sebagai wujud dari nilai ke-indonesia-an. Dengan demikian kita telah menjaga marwah pendidikan yang telah diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Salam Pendidikan Kita..!