Oleh: Romadhon AS (Penggiat Literasi Sekolah)
Sudah 2 pekan ini
saya menghidupkan kembali gerakan literasi yg sempat mati suri. Saya
menghidupkan ini dr ruang kelas yg mungkin sudah jarang dilakukan kebanyakan orang
(baca:guru). Apa lagi ditempat pengabdian saya, sekolah dibawah naungan pondok
pesantren. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Ungkapan itu yg ada dlm
pikiran. saya yg hanya memiliki waktu yg singkat. Tak lebih dari 35 menit
memberikan layanan bimbingan dan konseling secara klasikal perlu dimanfaatkan
dg seefektif mungkin. Sebenarnya, secara jujur. Saya menghidupkan gerakan
literasi ini yg kemudian dikemas dlm materi layanan berangkat dr data UNESCO
2015 (jika tidak salah) yg merilis bahwa peringkat Indonesia dalam literasi
dunia berada pada peringkat 60 dari 61 negara. Sementara, minat baca anak
indonesia hanya mencapai 0.093%.
Artinya, kondisi ini memprihatinkan. Apalagi terjadi di
kalangan pelajar (termasuk mahasiswa). Hal ini juga amanah permendikbud nomor
23 tahun 2015 tentang gerakan literasi sekolah. Dimana sekolah berkewajiban
melakukan literasi 5 menit sebelum pelajaran dimulai. Disinilah peran guru
dipertaruhkan. Bukan sekedar menghabiskan materi pelajaran. Namun, memiliki
rasa keprihatinan yg diikuti dg 'action' jarang kita temui di kalangan
pendidik. Dan akhirnya, saya memutuskan hal yg mungkin saja mendapatkan
kecaman, bahkan tak disukai siswa termasuk rekan kerja (mungkin). Dimana setiap
jam tatap muka (layanan) peserta didik (konseli) 'harus' membawa buku bacaan yg
disukai selain buku mata pelajaran. Dengan catatan 'tidak boleh pinjam pada
teman'. Dengan maksud, agar anak mau berkunjung ke perpustakaan (ya, minimal
pinjam buku). Tidak ada alasan perpustakaan ditutup atau alibi lainnya. Karena
perpustakaan adalah jantung sekolah. Ketika perpustakaan ini mati, maka jangan
banyak berharap meningkatkan mutu sekolah. Banyak orang sukses, para penulis,
dan pemikir berawal dr sudut2 sekolah termasuk perpustakaan. Bahkan wahyu
pertama pun diisyaratkan membaca. Bacalah! Perpustakaan, memang tak seasyik
kantin atau ruang2 lainnya. Tapi, kita (guru) juga tak sepantasnya menutup mata
dan telinga untuk mendorong generasi ini (baca: siswa) agar bisa menumbuhkan
minat baca. Mendorong bukan bukan sekedar memerintah, memberi tugas. Tapi lebih
dari itu, harus melibatkan diri secara nyata bahwa kita harus meliterasikan
diri dlm berbagai kesempatan, termasuk mengisi waktu luang dg membaca.
Literasi kali ini,
cukup membuahkan hasil. Setidaknya minat baca anak sudah mulai bangkit kembali.
Setidaknya pula anak sudah mau ke perpustakaan walaupun hanya sekedar meminjam
buku. Bahkan, saya bertanya 'lebih sering mana, antara masuk ke perpustakaan dg
sekber (kesiswaan)?'. Yg lebih ekstrim lagi, mulai masuk sekolah hingga saat
ini belum pernah masuk ke perpustakaan. Literasi secara sederhana yg bisa saya
lakukan adalah membaca, lalu memahami, dan menulis. Ini yg perlu digarisbawahi.
Artinya, tak hanya membaca, namun juga memberikan entry point dr apa yg dibaca.
Dalam bentuk format yg telah ditentukan. Lumayan, disamping membaca juga
meningkatkan daya ingat. Dan ini berlanjut hingga mereka menikmati liburan
sekolah yang akan dimulai tanggal 23 Nopember hingga 8 Desember 2017. Diakhir
layanan, saya selalu mengingatkan membaca, bukan karena tugas dr guru.
Melainkan, karena kita peduli pd kondisi negeri ini. Apalagi sebagai santri
jaman now, jangan GapTek (gagap teknologi), jangan TelMi (telat.mikir). Hal ini
mendorong peserta didik untuk tanggap pd perkembangan zaman dan mampu menjawab
tantangan zaman ke depan. Kuncinya, sebagaimana Pak Iskandar, dosen saya semasa
kuliah di Unikama yakni Baca baca, banyak tau. Sedikit baca, sedikit tau. Tidak
baca, tidak pernah tau. Semoga tulisan singkat ini yg secara empiris telah
dilakukan sekalipun masih banyak kekurangan dan kelemahan. Setidaknya saya
memulai dr hal kecil. Karena pekerjaan yg sulit adalah pekerjaan yg tidak
pernah dimulai.
Salam literasi...
Bumiayu, 12 Nopember 2017