Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

Ramadhan : Membentuk Kepribadian Intelektual dan Kesalehan Sosial Menuju Pintu Arrayan1



Oleh : Romadhon AS*

Serius: usai sholat ied di kampus, lalu berbincang dengan Ketua Umum PP. IKABA Unikama 2011-2016

Pendahuluan
Alhamdulilah, segala Puji Syukur bagi Allah SWT, yang  jikalau seluruh pohon di atas muka bumi ini di jadikan pena dan lautan di jadikan tinta untuk menuliskan ilmu Allah SWT,  maka tiada akan habis ilmu Allah SWT itu. Segala Puji bagi Allah SWT atas nikmat Islam, atas nikmat Alqur’an dan di utusnya Muhammad SAW, Rasul yang menjadi rahmatan lil ’alamin. Segala Puji bagi Allah SWT atas segala limpahan Taufiq dan Hidayah-Nya yang tiada henti-hentinya sehingga penulis bisa menyelesaikan materi ini dalam naungan maghfirohMu.

Dalam kesempatan yang mulia dan penuh barokah ini, tentu kita tidak ingin menyia-nyiakan bulan yang penuh tantangan untuk terus berpacu dalam kebaikan. Sehingga kita bisa mendapatkan predikat Al-Muttaqien. Predikat yang Allah janjikan dalam bulan yang maghfiroh ini kita bisa rasakan dari tahun ke tahun untuk selalu berbenah diri belajar dari masa lalu yang terus menjadi acuan lebih baik dan sempurna.

Sebelum lebih jauh banyak berbicara tentang pintu surga Arrayan pada kajian yang sangat mulia dan barokah ini. Adakalanya sedikit menyinggung esensi puasa itu sendiri agar kemudian puasa tidak hanya menjadi ritual dan rutinitas belaka yang tanpa sadari akhirnya kita akan lapar dan dahaga begitu saja. Di antara semua ibadah yang disyariatkan kepaada umat Islam, puasa merupakan ibadah yang paling sangat privat. Ibadah puasa merupakan rahasia berdua antara seseorang dengan Allah SWT. Hal ini berbeda dengan ibadah lainnya, di mana keterlibatan dan pengetahuan orang lain terlihat begitu jelas.

Dalam ibadah salat misalnya, orang lain dapat melihat dengan jelas bagaimana kita salat, demikian pula ibadah yang lain seperti zakat dan haji. Berbeda dengan ibadah puasa, kalau kita berpura-pura puasa, orang lain tak akan tahu, tapi tentu saja Allah Maha Tahu. Pada sifatnya yang sangat privat dan rahasia inilah, ibadah puasa menjadi sangat istimewa. Ibadah puasa membentuk sisi kejiwaan yang sangat personal, yaitu keikhlasan, kejujuran, tanggung jawab, dan komitmen. Ibadah Puasa dapat membentuk kepribadian, dan puncak pembentukan kepribadian adalah insan takwa. Inti takwa adalah menjaga diri agar tetap berada pada rambu-rambu ajaran agama dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Dalam puasa orang di didik bahwa keridaan Allah itu lebih besar dari pada dunia seisinya.

Puasa Dalam Membentuk kepribadian Intelektual
Sebelum mengungkap kaitan puasa dengan pembentukan kepribadian intelektual muslim, perlu kiranya melihat siapa intelektual itu. Dapat dikatakan bahwa intelektualitas merupakan inti penggerak prestasi kemajuan sebuah peradaban bangsa. Intelektualitas mewujud dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakatnya, para intelektual-cendekiawan merupakan agen perubahan (agent of change) dari suatu komunitas masyarakat dan zaman. Oleh sebab itu membincangkan intelektualitas akan lebih dinamis dan berarti ketika dikaitkan dengan kaum intelektual sebagai subjek, baik ketika dalam proses pencarian, menemukan, mamiliki, dan pada saat mengaplikasikannya.

Masalahnya kemudian, bagaimana membangun intelektualitas dan memainkan peran dalam sebuah pergulatan peradaban dan budaya globalitas dunia yang sangat terbuka dan sarat akan berbagai interes di satu pihak, dan idealitas intelektual yang sarat muatan moral di lain pihak. Apalagi dalam sebuah masyarakat bangsa yang masih ‘berkembang’ (seperti muslim Indonesia) menuju masyarakat modern, maka persoalan intelektualitas dan moralitas menjadi sangat urgen. Siapa sebenarnya yang disebut intelektual ? apa ciri-ciri-kriterianya ? dan mengapa memilih intelektual bukan sarjana?
Kata intelektualitas sepadan dengan kata inteligensia, yang berarti kecerdasan, daya pikir. Sedangkan intelektual sebagai sebuah sebutan yang umumnya dialamatkan kepada mereka yang memiliki kemampuan intelek/intelegensia yang tinggi. Pada asalnya, sebutan intelektual tidak memihak, bisa berlaku bagi setiap orang yang memiliki inteligensia/akal dan menggunakannya berikut produk yang dihasilkannya. Apakah ia seorang yang baik, atau orang jahat, apakan hasilnya digunakan untuk kebaikan atau malah untuk kejahatan.

Namun dalam perkembangannya, secara sosiologis penggunaan sebutan intelektual ini kemudian bermuatan spiritual-filosofis, yang tidak sembarang orang dapat memperolehnya, meski ia seorang sarjana. Sosok Nurcholish Madjid misalnya, ia dikenal sebagai seorang intelektual muslim. Habibie, Kuntowijoyo, demikian juga disebut intelektual muslim. Pendek kata, intelektual di sini dikonotasikan kepada sekelompok orang yang pintar, cerdas, berilmu tinggi, dan memiliki kemampuan “linuwih” dalam suatu bidang ilmu pengetahuanm atau berbagai bidang ilmu. Labih dari itu, intelektual adalah seorang yang memiliki reputasi keilmuan dan tanggung jawab secara akademis dan sosial. Pengertian umum ini seringkali digunakan padanan kata yang serupa dengan istilah intelektual, yaitu cendekiawan. Salah satu yang menjadi ciri intelktual adalah memiliki jiwa ulul albab.

Ulul Albab adalah sebutan bagi orang yang memiliki akal pikiran dan mempergunakannya secara benar. Akal pikirannya digunakan untuk memikirkan, memahami ayat-ayat Allah, baik ayat yang sifatnya qauliyah, yaitu ayat- ayat suci al-Qur’an dengan pesan-pesan nilai dan ajarannya yang syarat muatan moral, maupun ayat Allah yang kauniyah sifatnya, yaitu segala kejadian yang terjadi di dunia menurut sunnatullah seperti pergantian waktu siang-malam, perputaran planet dan matahari, dan persoalan-persoalan lain yang menjadi i’tibar (pelajaran) bagi umat manusia, khuusnya orang yang mau menggunakan akal pikirannya.
Dari sekian banyak ayat tentang ulul albab, dapat diidentifikasi mengenai ciri-ciri dan kriteria ulul albab sebagai berikut:
1. Mereka yang dengan intelektualitasnya menyadari eksistensi dirinya sebagai manusia
hamba Allah, yang memiliki keterbatasan dan kelemahan (Q.S. Ali Imran [3]: 7).
2. Mereka yang dengan intelektualitasnya mau mengambil pelajaran dari segala kejadian
alam di dunia ini (Q.S. Ali Imran [3]:190)
3. Mereka yang dengan intelektualitasnya menerima hukum-hukum Allah dengan sepenuh  hatinya, dan menyadari bahwa setiap kejadian, ketentuan yang berasal dari Allah itu pasti benar dan mengandung hikmahnya di dalamnya (Q.S. al-Baqarah [2]: 179, 269; Ali Imran [3]: 7, 190; al-Ra’d [13]: 19).
4. Mereka yang dengan kesadaran intelektualitasnya menjaga nilai-nilai moralitasnya, tidak  bertindak yang merusak keimanannya, amanah Allah dengan tindakan-tindakan yang keji dan kotor (tidak baik dan tidak pantas dilakukan) (Q.S. al-Baqarah [2]: 197; al-Maidah [5]: 100).
5. Mereka yang selalu memelihara komitmen dirinya dengan Allah, bertaqwa dengan
melakukan ketaatan (ibadah), serta menghindari dari perbuatan yang tidak disukai oleh Allah (Q.S. Ali Imran [3]: 197).
Dengan demikina maka tentu kaum intelektual tidak cukup bergelar, sarjana, magister maupun guru besar. Karena sejatinya adalah bagiamana keilmuan itu bisa bermanfaat untuk peradaban suatu bangsa.

Puasa dan Kesalehan Sosial
Sebagaimana yang dijelaskan diatas bahwa ibadah puasa dalam simbol ritual menahan lapar, dahaga, dan nafsu seksual, merupakan madrasah ruhani yang mengajarkan manusia pada pelajaran ruhani tanpa melalui sebuah konsep yang sangat teoritik, tapi sebuah proses pembelajaran terlibat, sehingga pelajaran ruhani tersebut menginternalisasi dalam lubuk jiwa kita. Dengan tetap menahan lapar, dahaga, dan nafsu seksual dari fajar hingga malam datang, kita diajarkan untuk melakukan semua itu, ikhlas karena Allah, karena seandainya untuk sesuatu selain Allah, maka kita akan gampang mengelabui manusia dengan mengesankan diri, bahwa kita sedang berpuasa. Ibadah puasa melatih kita untuk senantiasa jujur pada diri kita sendiri dan jujur pada Allah, dengan demikian kita akan mudah untuk jujur kepada orang lain. Selanjutnya puasa melatih jiwa untuk tetap tanggung jawab dan komitmen pada pilihan nilai yang kita anut.

Lebih dari sekadar latihan jiwa yang bersifat personal, dengan simbol ritualistik berupa lapar dan dahaga, puasa mengajarkan kita secara langsung untuk merasakan keperihan mereka yang tak berpunya. Saat Ramadhan, kita lapar dan dahaga karena sebuah pilihan, padahal kita memiliki banyak stok makanan dan minuman. Dengan itu, kita sejatinya diajak merenung untuk merasakan dan memikirkan derita saudara-sudara kita yang kelaparan dan tak berpunya. Dengan demikian, puasa melatih jiwa sosial kita untuk merasakan empati kemanusiaan yang mendalam dengan berbagi pada sesama.

Dalam puasa, Allah menjanjikan berbagai macam pahala yang berlimpah jika melakukan ritual-ritual tertentu, hal ini merupakan modus untuk membentuk kesalehan ritual yang bersifat pribadi. Namun, di pihak lain Allah juga memerintahkan kita untuk memberikan sedekah, memberi makan orang yang hendak berbuka puasa, menunaikan zakat, dan ibadah sosial lainnya. Hal tersebut merupakan simbolitas agar kita selain melakukan internalisasi kesalehan yang bersifat pribadi dan ritual, tapi juga memperhatikan aspek-aspek sosial.

Itulah sebabnya, kata iman dalam Alquran senantiasa disandingkan dengan kata amal saleh. Iman merupakan simbol yang bersifat personal-ritual dan amal saleh merupakan simbol amal yang bersifat sosial dan bernuansa sosiologis. Simbolitas ini juga tampak, dengan disyariatkannya zakat, yang merupakan ibadah sosial sebagai pamungkas keseluruhan rangkaian ibadah Ramadhan. Ibadah zakat sebagai pamungkas, menunjukkan bahwa orientasi dari puasa Ramadhan adalah membentuk priabdi yang selalu ingat berbagi.

Berkali-kali Rasulullah saw menekankan bahwa indikator keimanan seseorang (kepada Allah dan hari akhir) adalah pada amalan yang bersifat sosial, seperti dalam sabda suci beliau saw. "Tidak beriman seseorang kepada Allah dan hari akhir jika ia tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya tidur dalam keadaan lapar", "barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya", dan masih banyak hadis Rasul saw lainnya yang senada dengan itu.
Dengan demikian, untuk mengukur keimanan dan kesalehan seseorang tidaklah cukup hanya dengan indikator kesalehan yang bersifat ritual saja. Bahkan kemuliaan seseorang diukur sejauh mana orang tersebut berkontribusi yang positif bagi orang lain, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasul saw, "sebaik-baik kamu adalah yang paling memberi manfaat bagi orang lain".

Arrayan : Pintu Masuk Bagi Orang Baik.
Berbicara orang baik dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki predikat kepribadian muslim dan kesalehan social yang bermanfaat bagi perkembangan ummat. Sehingga salah satu dampak puasa adalah berusaha menjadi insan baik yang kemudian berhak menuju arrayan sebagaimana yang diharapakan setiap insan. “Sesungguhnya di surga ada suatu pintu yang disebut “ar rayyan“. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, “Mana orang yang berpuasa.” Lantas mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya” (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152).

Secara terminology Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Al Fath menyebutkan, “Ar Rayyan dengan menfathahkan huruf ro’ dan mentasydid ya’, mengikuti wazan fi’il (kata kerja) dari kata ‘ar riyy‘ yang maksudnya adalah nama salah satu pintu di surga yang hanya dikhususkan untuk orang yang berpuasa memasukinya. Dari sisi lafazh dan makna ada kaitannya. Karena kata ar rayyan adalah turunan dari kata ar riyy yang artinya bersesuaian dengan keadaan orang yang berpuasa. Orang yang berpuasa kelak akan memasuki pintu tersebut dan tidak pernah merasakan haus lagi.” (Fathul Bari, 4: 131).

Sementara itu telah kita pahami berbagai hadist tentang pintu surga (arrayan) bagi orang berpuasa, hanya saja kita tidak ingin semata menangkap hal itu. Hal yang terpenting bagi orang berpuasa adalah bagaimana terus meningkatkan keimananan, kepribadian dan kesalehan pasca puasa itu sendiri. Maka dengan sendirinya kita akan berhak menuju yang namanya arrayan dengan predikat al-muttaqien. Sebagaimana Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Surga memiliki delapan buah pintu. Di antara pintu tersebut ada yang dinamakan pintu Ar Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari no. 3257).

Khatimah
Sebagai penutup dalam pembahasan ini, saya secara pribadi dan para jamaah yang dimuliakan Allah SWT, mari kita senantiasa menjalani ibadah ramadhan ini tidak hanya sebatas karena kewajiban bagi setiap muslim, tapi lebih dari pada itu untuk membentuk pribadi yang berkarakter, social responsibility yang tinggi dan akhirnya kita mampu menginternalisasikan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk itu, internalisasi nilai-nilai puasa ini paling tidak membawa perubahan dalam diri kita, keluarga kita dan masyarakat kita yang lebih baik. Ada beberapan perubahan yang diharapakan pasca ramadhan ini yaitu, Pertama; perubahan sikap yang bersifat kognitif, yaitu ketika menerima informasi tentang  seluk-beluk yang terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa yang harus dijalankan oleh setiap muslim. Kedua; perubahan sikap yang bersifat afektif yaitu ketika manusia mengetahui hakekat puasa adalah masa berpantang untuk mengendalikan diri dari berbagai kepentingan dan keinginan yang dilarang dalam menjalankan puasa, masa ini adalah  merupakan periode penggemblengan jiwa sosial dan mental jihat keagamaan. Ketiga; perubahan yang dikehendaki oleh Allah itu berupa sikap yang bersifat kecenderungan untuk berbuat dengan melakukan puasa dibulan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an. Ketiga perubahan sikap tersebut merupakan hasil proses pendidikan yang dilakukan lewat puasa sebagai kewajiban beragama. Ibadah puasa merupakan perilaku Islami yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh setiap  muslim.

Semoga pembahasan ini bermanfaat untuk dijadikan refleksi kita menjadi insan muttaqien.

1.diolah dari berbagi sumber baik buku maupun internet.
2.Ketua IKAFA UNIKAMA

0 komentar:

Posting Komentar