Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

9 Karakter Anti Korupsi Harus dimiliki Guru

Oleh: Romadhon, S.Pd., M.Pd
(Dosen Universitas Kanjuruhan Malang)

Beberapa pekan ini masyarakat telah banyak disuguhkan berbagai masalah bangsa, mulai dari banjir, terorisme, penistaan agama, pungutan liar (pungli) di kementerian perhubungan (kemenhub) dan kasus lainyya yang menimpa negeri ini. Hal ini cukup menyita perhatian masayarakat luas. Beberapa hari yang lalu saat kasus pungli kemenhub mencuat. Saat itu pula saya (penulis) mendiskusikan dengan beberapa rekan seperjuangan (rekan guru) terkait pungli kemenhub. Kemudian saya pun mencoba update status di medsos yang kurang lebihnya ‘Pungli di Kemenhub mulai terkuak, Kapan Pungli di Dunia Pendidikan?’ dengan harapan pada status itu direspon dengan berbagai argumen. Namun tidaklah seperti yang diharapkan. Pada intinya, pungli ini akan terus bermunculan jika dalam setiap individu belum ada ‘kesadaran kolektif’ akan pentingnya menanamkan sikap anti korupsi. Korupsi bukan soal jutaan atau millyaran. Lebih dari pada itu, kita harus memiliki pemahaman yang kuat pentingnya melawan korupsi. Bangsa yang besar, bukanlah yang kekeyaannya melimpah ruah. Bangsa ini sudah cukup dewasa untuk mengatakan bangsa yang besar. Bangsa yang besar adalah jika pemberantasan korupsi bisa diminimalisir dan penegakan hukum tanpa pandang bulu di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk pemberantasan korupsi dalama dunia pendidikan. Karena sektor inilah menjadi pintu gerbang kemajuan suatu bangsa.

Pemberian Buku Perdana (Romadhon) pada salah atu guru progresif kab. malang

Pagi itu, hari Jum’at/21-10-2016, salah satu stasiun televisi swasta (TV One) meyiarkan secara langsung dalam tajuk ‘Apa Kabar Indonesia Pagi’ dengan topik ‘pungli dunia pendidikan’. Pada tayangan tersebut tentu memiliki alasan fundamental yang akhir-akhir ini melanda dunia pendidikan kita. Misalnya, pada kasus 5 Kepala sekolah di Bandung yang diusulkan oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil kepada Gubernur Jawa Barat untuk diberhentikan. Karena terkait kasus pungli disekolah tersebut. Sebenarnya, jika berbicara pungli ini tentu sudah lama ‘berkeliaran’ dalam dunia pendidikan. Mulai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), hingga proses sertifikasi. Menurut saya (penulis), kasus pungli dalam dunia pendidikan ini cukup sistetemik dan massif lebih tepatnya sudah ‘mendarahdaging’. Karena disinyalir ada keterlibatan dari pengambil policy dalam hal ini dinas pendidikan. Biasanya dinas pendidikan memberdayakan tangan kanannya yang biasa kita kenal dengan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah yang disingkat MKKS.

Penulis hanya ingin memotret apa yang pernah dialami dan dirasakan selama ini. Tidak ada maksud untuk mendeskreditkan suatu perkumpulan, sebut saja MKKS SMP Swasta Kabupaten/Kota yang ada di Malang Raya. Ini hanyalah soal ‘rasa’ atas keprihatinan penulis. Jika keprihatinan ini dirasakan sendiri, tentu sampai kiamat pun tak akan pernah terbongkar kasus pungli maupun korupsi di dunia pendidikan kita. Penulis berpandangan bahwa, pendidikan menjadi ujung tombak untuk perbaikan kondisi bangsa. Orang-orang yang terdidik ada di dalam bagian dunia pendidikan itu sendiri. Kita tak akan pernah melahirkan anak-anak yang berkarakter sekaligus berprestasi, sementara orang yang terdidik (guru) diam, dan mendiamkan. Lebih parah lagi ia (guru) menjadi bagian pemain dalam kasus tersebut. Butuh keberanian dan idealisme untuk membongkar praktik-praktik korupsi di negeri ini terlebih saya yang pernah merasakan deskriminatif ketika saya (tahun 2013) masuk dalam calon peserta sertifikasi.

Singkatnya, saat itu seluruh calon dikumpulkan disalah satu kecamatan untuk mendapatkan pengarahan dari MKKS yang menjelma sebagai tangan kanan Dinas Pendidikan. Dengan tugas kurang lebih hanya urusan adminstratif semata. Pada suatu pertengahan pengarahan, seluruh peserta dihimbau untuk memberikan infaq/shodaqoh yang dimasukkan dalam amplop dengan dibubuhkannya identitas (nama, asal sekolah, NUPTK). Ironisnya, bukan soal infaq/shodaqoh, namun amplop pun telah disediakan oleh pihak penyelenggara. Lalu, muncullah pertanyaan ‘kenapa harus ada identitas itu?, kenapa amplop disediakan?apa ada jaminan tak akan mempengaruhi hasil Uji Kompetensi Awal (UKA)? Karena saat itu untuk menjadi peserta PLPG harus lulus UKA, disamping lulus admisitrasi yang begitu banyaknya. Alhasil, hasil UKA malah tak menjadi pertimbangan untuk menuju tahapan berikutnya. Yang menjadi pertimbangan (temuan penulis) adalah masa kerja dan besaran infaq/shodaqoh sebagiamana dimaksud. Jika pada masa kerja itu menjadi pertimbangan seseorang untuk ikut PLPG, maka semestinya pada seleksi administrasi harus berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yakni minimal 5 tahun. Artinya dengan masa kerja tersebut seseorang sudah ditetapkan sebagai peserta PLPG (sertifikasi). Belum lagi persoalan yang akhir-akhir ini banyak keluhan di dunia pendidikan (guru), misalnya setiap guru yang masuk peserta sertifikasi (PLPG), lalu dikenakan biaya administrasi sekitar Rp. 750.000,- (pengakuan peserta) dan yang telah mendapatkan tunjangan pun masih ada iuran sebesar Rp. 150.000,- (pengakuan guru sertifikasi) dengan dalih pemberkasan dan sejenisnya. Padahal menurut Undang-Undang dan peraturan lainnya termasuk petunjuk teknis (juknis) seputar sertifikasi yang menyatakan bahwa proses sertifikasi tidak dipungut biaya sepersen pun mulai awal hingga akhir. Tentu hal ini bertentangan dengan segala peraturan perundang-undangan yang ada. Kita sudah banyak mengetahui soal perubahan dari waktu ke waktu, zaman ke zaman. Pemerintah telah mengupayakan segala urusan administrasi (pelayanan publik) dilakukan secara online termasuk urusan sertifikasi. Apalagi pemerintah telah mencanagkan good goverment disetiap instansi pemerintah tak terkecuali sekolah dan dinas pendidikan.
Pada kasus diatas, kita tentu tak ingin tutup mata dan telinga atas fenomena ini. Bukan rahasia umum lagi, bahkan dikalangan guru pun hal ini sudah dianggap biasa. Mengapa? ada alasan sederhana sebenarnya, hanya mereka berkeinginan kuat untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi (bukan pengembangan diri), dan tentu mereka belum memiliki kesadaran kolektif bahwa hal itu sangatlah merugikan semua pihak. Atas dasar itu pula, sekolah akhirnya hanya menjadi sarang koruptor, pungli, dan sejenisnya yang akan berdampak buruk pada keberlangsungan peserta didik dan integritas sekolah.

Disaat indonesia mulai memerangi korupsi yang menjadi musuh besar bersama. Sebagai anak bangsa tentu kita akan memerangi ini dengan cara berjamaah. Artinya, tak cukup satu orang untuk memeranginya, maka gerakan berjamaah melawan korupsi penting untuk kita pegang bersama terutama dalam dunia pendidikan. Karena dunia pendidikan akan melahirkan generasi anti korupsi sebagaimana dalam buku pendidikan anti korupsi yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun 2011 silam.

Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu termasuk guru, siswa, dan orang tua. Ada sembilan nilai anti korupsi sebagaimana dalam buku tersebut untuk diketahui oleh seluruh komponen bangsa terlebih para pengambil policy di dunia pendidikan, antara lain; 1) Kejujuran; menurut Sugono (2008) dalam buku pendidikan anti korupsi (kemdikbud, 2011) kata jujur dapat didefinisikan sebagai lurus hati, tidak berbohong, dan tidak curang. Artinya setiap yang namanya guru harus memiliki karakter kejujuran baik verbal maupun non verbal. Tak lagi bersembunyi dalam kebohongan sistemik dengan dalih apapun. Karena guru lah yang akan membentuk karakter anak didik. Jika guru sudah berbuat curang (manupulasi) dalam bentuk apapun, tentu ini akan berimbas pada anak didik kita. Inilah yang harus disadari oleh seluruh stakeholder disetiap sekolah. 2) Kepedulian; adalah mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan (Sugono, 2008). Maka sudah menjadi keniscayaan seorang guru harus memiliki rasa kepedulian yang tinggi atas situasi lingkungan sekolah baik aspek pembelajaran ataupun bentuk pelanggaran lainnya yang mencoreng wajah pendidikan kita. 3) Kemandirian; artinya dengan tidak bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya. Seorang guru harus menanamkan nilai kemandirian dalam menjalankan tugas dan kewajiban (bukan sekedar copy paste) lebih tepatnya guru di abad 21 ini harus berinovasi dan berintegritas tinggi. 4) Kedisiplinan; definisi kata disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (Sugono: 2008). Persolan ini, sering kita temukan guru tak taat aturan (nabrak aturan) baik aturan yang ada di setiap sekolah maupun aturan perundang-undangan. Segala bentuk nepotisme dan kolusi sering muncul seiring musim sertifikasi. Guru harus berani bersikap atas bentuk-bentuk ketidakdisiplinan demi menanamkan karakter pada peserta didik. 5) Tanggung jawab; menurut Sugono (2008) definisi kata tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan).  Berani berbuat-berani bertanggungjawab, kalimat itu cukup menjadi pegangan seluruh komponen bangsa termasuk guru. Artinya apa saja yang telah dilakukan guru, harus lah bertanggungjawab atas profesinya (lihat 4 kompetensi). 6) Kerja keras; bekerja keras merupakan hal yang penting guna tercapainya hasil yang sesuai dengan target. Akan tetapi bekerja keras akan menjadi tidak berguna jika tanpa adanya pengetahuan. Untuk itu, setiap guru yang mendapatkan sertifikasi wajib meningkatkan pengetahuan terutama pada aspek pedagogik dan profesional sebagi tanggungjawab moral pada negara ini. 7) Sederhana; sikap kesederhanaan perlu ditanamkan pada insan guru. Mengingat hidup sederhana di era ‘gedgetisasi’ sudah mulai luntur. Semua serba mudah didapatkan. Untuk itu, hidup sesuai dengan kemampuan, hidup sesuai dengan kebutuhan, tidak suka pamer kekayaan, dan lain sebagainya perlu ditanamkan pada setiap guru (digugu lan ditiru). 8) Keberanian; pada nilai keberanian yang bisa mendekati dengan idealisme seorang guru harus berani mengatakan ‘tidak pada Korupsi, Kolusi, Nepotisme di dunia pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar good goverment bisa dirasakan oleh seluruh stakeholder yang ada. Berani bertanggungjawab, berani mengakui kesalahan, berani membela kebenaran, itulah yang hampir punah pada jiwa guru. Karena yang ada hanyalah berani pada kepentingan pragmatis. Dimana hal itu pula yang masih merajalela dalam dunia pendidikan. 9) Keadilan; berdasarkan arti katanya, adil adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak (kemdikbud, 2011). Pada situasi sekarang ini keadilan sangat dibutuhkan oleh setiap warga negara, termasuk warga sekolah. Setiap tidak boleh membedakan siswa, tidak boleh membedakan guru (negeri-swasta). Sekolah harus bisa proporsional dalam segala hal, baik pembagian jam mengajar, tunjangan berbasis kinerja, dan tugas-tugas lainnya. Jika hal ini telah tercipta dengan baik, maka tentu akan berdampak pada iklim kerja yang kondusif dan efisien.
Dari sembilan karakter anti korupsi diatas, seyogyanya bisa dijadikan pedoman bagi penyelenggara pendidikan ke depan. Pendidikan dimasa yang akan datang membutuhkan pendidik yang miliki sikap anti korupsi dan idealisme yang kuat. Karena praktek korupsi atau pungli sudah tak terbendung lagi di dunia pendidikan kita. Kasus diatas, perlu menjadi pelajaran bagi siapa yang menjadi guru jika hanya berorientasi pada materi semata, lebih baik tanggalkan niatnya menjadi guru. Karena menjadi guru merupakan panggilan jiwa atas keprihatinan kita terhadap dunia pendidikan. Mari berintropeksi diri, agar menemukan guru sejati di negeri ini. (mr.dont)