Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

SEGELAS SETIAP PAGI, SEGERIMIS SETIAP HARI (WAJAH LAIN HAM UNTUK MASYARAKAT LUAS)


Oleh : Benn Rosyid*



Dalam sebuah percakapan bersama seorang kawan, yang tidak berasal dari elemen organisasi atau gerakan manapun, saya terenyuh mendengar kata-katanya yang syahdu. “Saya tidak mengerti banyak tentang HAM, dan yang orang-orang bicarakan di facebook itu. Saya juga tidak tahu apa member uang seratus rupiah pada pengemis tua di jalanan juga bisa dibilang peduli pada HAM. Tapi saya tidak sedang merasa sekedar memberikan uang seratus rupiah. Saya memberikan harapan dan kebahagiaan.”

Waktu itu, kota Malang sedang hujan, rintik-rintik kecil. Kami bercelana pendek dan duduk nongkrong di warung gorengan depan kos-kosan, berbincang panjang. Kawanku itu bukan seorang aktivis, tidak pula rajin membaca buku. Ia hanya sesekali membaca buku-buku yang kukoleksi di kamar. Hanya saja, selama aku mengenalnya, kutahu dia seorang yang halus perasaannya.
“Kadang, seseorang ndak perlu mengerti HAM dan segala teorinya. Seperti kamu, cinta pada sesama dan niat menyebarkan harapan adalah yang paling penting untuk dipunyai lebih dahulu.”
Begitu kataku.

Karena sungguh, yang kupikirkan, perasaan yang halus pada sesama adalah modal terbesar untuk saling memahami satu sama lain. Ia adalah kunci untuk hidup dalam kebersamaan, agar setiap orang bisa saling mengulum senyum satu sama lain. Pernahkah kita bayangkan, hidup dengan tidak saling mencurigai, apa niat masing-masing dalam hati? Pernahkah kita bayangkan, hidup saling membantu tanpa perlu bertanya-tanya, apakah yang kita bantu—atau yang membantu kita—adalah orang anu atau orang anu?

Damai sekali, di hati ini. Allah, dalam salah satu firman-Nya, menegaskan bahwa yang kelak akan dipersilahkan Tuhan pulang untuk masuk surga adalah mereka yang jiwanya damai. Bukan mereka yang penuh benci, penuh prasangka, dan penuh kesombongan, karena merasa diri paling benar dan yang lain pasti salah.

Segelas HAM Setiap Pagi
Nama saya, hmm, panggil saja Ical. Saya anak pertama dari dua bersaudara, yang dari segi minat aktivitas tidak ada mirip-miripnya. Sementara adik pertama saya hidup lurus dengan mencintai alam bebas, dan adik kedua saya yang hidup liar dengan mencintai teater dan sastra, saya sendiri hidup nakal dalam buku-buku pemikiran dan aktivitas-aktivitas sosial di tengah-tengah masyarakat.
Pada tahun 2009, ketika masih kuliah di Fakultas Teknik UMM, saya berkenalan dengan organisasi bernama Aufklarung, sekumpulan anak muda Muhammadiyah yang konsen berada di pergaulan keilmuan kritis, dan berbagai gerakan-gerakan pemberdayaan.
Setelah dua tahun berada di sana dan belajar banyak hal, pada tahun 2011 seiring dengan kepindahan saya dari Fakultas Teknik ke Fakultas Agama Islam, saya pun mulai lompat ke komunitas-komunitas lain. Bidang keilmuan yang lebih banyak bertarung dengan wacana-wacana membuat saya butuh berada dalam komunitas yang bisa menjaga saya terpelihara dan berkembang dengan tradisi intelektual. Pada tahun 2011, saya bergabung dengan RGST (the Reading Group for Social Transformation), sebuah komunitas intelektual di bawah PSIF (Pusat Studi Islam dan Filsafat) di UMM. Disanalah saya belajar gandrung dengan berbagai pemikiran filsafat dan teori sosial, membaca berbagai gagasan transformatif-liberatif dari tokoh-tokoh yang sebelumnya saya tidak pernah kenal dari Aufklarung (karena disana kami cenderung hanya fokus pada aksi kongkret dengan basis teori seadanya dari filsafat kiri). Di RGST saya dipaksa untuk membaca buku-buku tebal, dan dibiasakan menulis essay-essay ilmiah setebal minimal lima belas halaman. Mas Hasnan Bachtiar, seorang peneliti di PSIF sekaligus yang mengoordinir RGST, yang menjadi mentorku hingga sekarang. Dari beliau saya mendapat banyak informasi, mengenal lebih banyak teori, dan menajamkan kepekaan sosial.

Saya hampir setiap pagi berada di RGST, menikmati berbagai gagasan yang tidak pernah secara langsung disebut HAM oleh Mas Hasnan. Kami berbicara tentang permasalahan sosial yang ada di dalam negeri, mengurai sebab musabab mengapa kemiskinan terjadi, dan bagaimana kemiskinan itu mengabadi karena tak lepas dari berbagai sebab lain yang tak kalah membudayanya di kehidupan sehari-hari. Di RGST, saya dan teman-teman tak sekedar membangun habitus intelektual, tapi juga memperbarui kesadaran kami tentang realitas sosial di sekitar kita. Saya selalu disuguhi cerita tentang nelayan-nelayan yang terlalu miskin, dan terpaksa hidup mengutang, dan karena mahalnya biaya hidup dan pendidikan anak, mereka tidak bisa mengandalkan pendapatan untuk ditabung membayar hutang (karena uang akan selalu habis), sementara kebutuhan semakin banyak dan semakin keuangan semakin menjepit, mereka terpaksa berhutang semakin banyak lagi.

Di desa mereka, ada beberapa haji yang setiap tahun naik haji, menjuragani tanah-tanah luas, dan tak pernah berinisiatif (kalau tak bisa dibilang tidak bersedia) menggunakan harta mereka untuk membebaskan hutang nelayan-nelayan miskin itu, dibanding menggunakannya untuk berhaji berkali-kali.

Mereka tidak berpendidikan tinggi, tidak bisa mengadvokasi diri sendiri.  Mereka dieksploitasi habis-habisan, dan mereka berpikir bahwa memang begitulah nasib mereka, dan semuanya adalah takdir. Mereka tidak bisa membela diri ketika mereka ditindas. Tak ada yang sudi menghentikan ketika mereka didatangi rentenir dan dipukuli di depan rumah mereka sendiri. Tak ada yang berinisiatif bertanya pada mereka—ketika mereka melewati malam dengan perut lapar sementara esok hari tidak pernah ada jaminan pasti bahwa hidup akan sedikit lebih baik pada mereka—dengan pertanyaan sederhana seperti: apakah mereka sudah makan malam?

Kita bicara tentang kepedulian, dan cinta. Lebih dari itu, kita bicara tentang, bagaimana memastikan cinta itu sama rata bertabur di bumi. Tak ada yang tak dapat bagian, karena yang lain mengambil terlalu banyak. Memonopolinya dengan rakus.

Cerita-cerita itu, berikut dengan kajian-kajian secara kritis dan intensif di RGST, bagiku merupakan segelas ‘rasa’ tentang HAM, dimana seleraku setiap hari secara terus menerus diasah oleh Mas Hasnan. Aku dibawa pada berbagai pengalaman kemanusiaan terlebih dahulu, segelas demi segelas.
Kelak aku mengerti, bahwa HAM bukan hanya tentang yang diributkan banyak orang di berbagai media sosial dan gosip-gosip yang tak bisa dipertanggung-jawabkan dalam dangkal kebenarannya, yaitu tentang menghormati dan menerima sepenuhnya perbedaan keyakinan dan agama. Bukan hanya tentang bagaimana memperjuangkan hak orang-orang Syiah agar bisa mendirikan masjid dan pesantren di pemukiman mereka, membiarkan mereka mengekspresikan perintah agama yang mereka yakini secara bebas tanpa boleh diganggu. Juga bukan sekedar memulangkan orang-orang Ahmadiyah dengan aman ke kampung-kampung mereka, meminta pemerintah bertanggung-jawab membuatkan kembali rumah-rumah mereka yang dulu dirusak massa, dan meminta aparat agar menjaga mereka, bukannya berkhianat. Bahwa HAM tidak sekedar tentang memperjuangkan hak-hak hukum keluarga korban pembantaian mereka yang dituduh rezim orde baru sebagai kader Partai Komunis Indonesia, yang selama ini dicabut, dan membuat mereka harus hidup dengan menyembunyikan nama asli, kalau tidak mau dikucilkan masyarakat, dan sulit mendapatkan pekerjaan; mereka yang hidup dalam pelarian di tanah air mereka sendiri, tempat kakek-kakek mereka berjuang mengangkat senjata melawan penjajah.

Jauh sebelum saya dikenalkan dengan berbagai teori tentang HAM, saya sudah berkenalan dengan HAM yang lebih luas, berkenalan dengan kesadaran tentang HAM, lewat ‘gelas-gelas’ yang disuguhkan Mas Hasnan setiap pagi di RGST. Kesadaran bahwa HAM adalah sesuatu yang lebih besar dari sekedar yang diributkan selama ini.
Kesadaran bahwa HAM adalah tentang kemanusiaan. Bahwa kita, sebagai manusia, terhubung dengan manusia lain, dengan cinta dan kepedulian yang tulus tanpa pamrih dan tanpa syarat; kebencian serta prasangka hanya akan membuat kedamaian semakin jauh dan semakin tak mampu diwujudkan. Bahwa HAM adalah menerima manusia lain seutuhnya sebagai manusia, yang sama seperti kita, dan tak berbeda dalam hak dan kewajiban dalam konteks kemasyarakatan. Bahwa HAM adalah menghargai kedaulatan orang lain, sebagaimana kita ingin diakui dan dihargai dalam kehidupan.

Bahwa organisme tunggal yang bergerak melawan atau bahkan tidak peduli pada dirinya sendiri, sudah takdirnya akan menjemput kehancuran.
Segerimis HAM Setiap Hari

Saya juga semakin terlibat jauh dalam kegiatan kemanusiaan, ketika tahun 2013 saya dan teman-teman mendirikan KOMP-PAS (Komunitas Mahasiswa Peduli Pendidikan Anak Bangsa), sebuah komunitas independen yang bergerak di bidang pendidikan, dan mengajar anak-anak miskin di pelosok Desa Tumpang (Kab. Malang) dan anak-anak jalanan dari kawasan Sukun (Kota Malang). Saya dan teman-teman pendiri mengajak mahasiswa berbagai fakultas (terutama sekali yang tidak memiliki backround aktivis sebelumnya) untuk bergabung. Kami membawa mereka ke pelosok-pelosok, melihat keadaan. Mudah sekali terketuk pintu hati mereka melihat keadaan, dan mereka memutuskan untuk bergabung, pergi mengajar sekali seminggu, setiap hari minggu.
Pejuang-pejuang pendidikan yang bergabung dalam KOMP-PAS adalah orang-orang yang saya kenal memiliki ketulusan. Mereka rela melawan jenuh setelah berkutat dengan kuliah dan tugas-tugas dari hari sabtu, tapi masih mau mengorbankan hari libur mereka (hari minggu) untuk berpanas-panas naik motor selama satu jam menuju lokasi mengajar, untuk memedulikan orang-orang yang bukan siapa-siapa mereka. Pejuang-pejuang itu dengan semangat meminjam kendaraan jika mereka tak punya, dengan imbalan bensin terisi ketika nanti dikembalikan pada empunya. Mereka rapat hampir setiap malam, kadang datang dengan wajah kuyu karena seharian berada di kampus. Masih mau memikirkan berbagai evaluasi, dan ide-ide mengajar yang kreatif dan efektif dalam mentransformasikan nilai-nilai kepribadian yang tangguh, kritis, dan peduli pada sesama—tidak hanya sekedar mengajarkan mereka calistung, dan hapalan-hapalan lainnya.

Dan pekerjaan semacam itu tidaklah mudah. Kebanyakan dari mereka (pejuang-pejuang KOMP-PAS) sama sekali tidak pernah mendapatkan pengalaman berorganisasi sebelumnya: mereka baru belajar berkomunitas, dan langsung harus terjun ke tengah-tengah masyarakat. Semakin mereka terlibat dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), semakin mereka menyadari pentingnya beberapa skill yang harus segera mereka miliki. Mereka butuh kecakapan berkomunikasi, mengelola kelas, dan teknik-teknik untuk menghadapi segala keceriaan dan kenakalan khas anak-anak. Mereka butuh kecakapan yang mampu membuat mata mereka jeli menafsirkan tingkah polah anak-anak didik mereka menjadi potensi-potensi positif. Jika tidak jeli, mereka tidak bisa menciptakan berbagai ide kreatif dalam mengajar.

Lebih dari itu, mereka harus mengerti gagasan besar yang menjadi motivasi sekaligus tujuan gerakan pendidikan mereka. Mengapa mereka terjun ke daerah-daerah terpencil? Mengapa mereka harus repot-repot mengurusi anak-anak nakal yang bahkan pada awalnya ogah datang belajar? Mengapa mereka harus berlelah-lelah memikirkan berbagai metode mengajar yang kreatif—padahal lebih simpel kalau datang ke lokasi sebagai guru les tambahan, membantu mengerjakan PR, mengulas lagi pelajaran-pelajaran sekolah supaya mereka dapat nilai lebih baik?
Selain mereka belajar berkomunitas—dalam arti, berkawan secara akrab, memelihara hubungan emosional dengan baik, menyatukan pikiran, mengkomunikasikan uneg-uneg, dan menghargai perbedaan pendapat—para pejuang KOMP-PAS dengan antusias mengorbankan lebih banyak waktu bermain dan istirahat demi belajar teknik-teknik dan basis teori yang mereka butuhkan. Saya dan teman-teman pendiri segera membuatkan silabusnya, menghubungkan mereka pada orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Mereka mematuhi jadwal yang mereka buat sendiri. Saya, teman-teman pendiri, dan mereka, berbaur bersama-sama, tanpa jenjang yang dibeda-bedakan, tanpa merasa ada yang lebih unggul di bidang ini dan itu, belajar berbagai hal yang baru untuk mereka.

Fokus diskusi kami pun mulai beranjak lebih dalam, dari yang sekedar bagaimana mengelola kelas, hingga mengamati masyarakat sekitar. Saya mengajak mereka ‘melihat lagi’ medan perjuangan mereka selama ini. Anak-anak miskin di desa Tumpang, mengapa mendapatkan sekolah yang fasilitasnya tidak selengkap sekolah-sekolah di kota? Mengapa sekolah mereka tidak banyak memberikan aktivitas ekstra-kulikuler, seperti yang banyak disediakan oleh sekolah kota? Mengapa perpustakaan mereka kurang banyak bukunya?

Ini hanya secuil permasalahan yang ditemui pejuang-pejuang KOMP-PAS. Di luar itu mereka juga melihat sendiri, kebanyakan anak sekolah sampai SD atau SMP saja, karena mereka memilih untuk menjadi petani di siang hari membantu ayah-ibu mereka, nongkrong di bengkel bersama anak-anak muda jika tidak ada kegiatan, dan di malam hari pergi mabuk-mabukan. Semua itu mereka pikirkan dan mereka cari cari solusinya, dengan memberikan pengalaman belajar yang paling menarik dan paling menyenangkan, hingga meninggalkan cinta yang luar biasa pada ilmu pengetahuan, dan berdedikasi pada pembangunan desa.

Namun di luar itu, mereka belajar pelan-pelan, arti dari ketidak-merataan mutu pendidikan dan seluk beluknya. Dan hal itu merupakan sebuah kekeliruan, karena memang hak asazi setiap anak untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Negara dalam konstitusinya menjamin itu. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Mutu pendidikan tidak akan pernah merata karena kondisi ekonomi setiap orang yang tidak sama—bahkan dengan cara yang ekstrim: mulai dari yang punya belasan rumah sebesar istana lengkap dengan puluhan mobilnya, sampai yang rumahnya hanya tiga petak berdinding seadanya. Di satu tempat ada anak-anak yang banyak bermain dan bahagia ketika kecil, di tempat lain ada yang harus bertarung dengan panas matahari menjajakan asongan, lalu dirampok kawanan yang lebih besar malam harinya.

Padahal, jika pendidikan menjadi sesuatu yang dapat dibeli, perkaranya akan gawat. Pendidikan, di mata pejuang-pejuang KOMP-PAS, memiliki beberapa fungsi mendasar: (1) membawa manusia dari tidak tahu menjadi tahu; (2) menjadikan manusia dari tidak bisa menjadi bisa; (3) mengantar manusia membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; (4) membuat manusia mampu menegaskan mana yang benar dan mana yang salah; (5) menanamkan kepedulian pada sesama, dengan cinta kasih yang tak membeda-bedakan satu sama lain.

Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya kalau sesuatu sepenting itu ditentukan oleh materi yang dimiliki. Betapa timpangnya di sana sini. Betapa lembaga pendidikan akan berfungsi sampai poin nomer 2 saja. Sampai ke poin nomer lima adalah hal yang sedikit sulit.

Di Sukun, pejuang-pejuang KOMP-PAS menghadapi permasalahan yang berbeda dari Tumpang. Di Tumpang, mereka menghadapi anak-anak miskin pedesaan, yang notabene meskipun masih miskin masih tetap dirangkul oleh keluarga dan masyarakat sekitar, terjamin hak hidup dan rasa aman, hak mencicipi kebudayaan yang luhur, serta masih bebas bermain bersama kawan-kawannya di waktu luang. Di Sukun, mereka menghadapi anak-anak jalanan, yang dilepas orang tua mereka sendiri ke jalan setiap sepulang sekolah sampai malam untuk mengamen dan mengemis di berbagai titik di kota Malang.

Orang tua mereka berinisiatif tega melakukan itu pada anak-anak mereka sendiri demi menutupi biaya hidup keluarga. Orang tua anak-anak itu bekerja cuma sebagai buruh bangunan, beberapa menjadi tukang becak, dan sisanya buruh cuci. Pekerjaan-pekerjaan yang gajinya harian, dan tidak pernah seberapa. Biaya pendidikan sedikit terbantu dengan banyaknya sekolah gratis dan bermutu biasa-biasa saja, tapi biaya sampingan sekolahnya tetap saja banyak. Belum lagi kebutuhan dapur, anak-anak mereka terpaksa harus makan seadanya, dengan gizi yang tidak begitu baik.

Melepas anak-anak mereka ke jalanan juga amat riskan. Saya sendiri pernah melihat dua orang anak kecil dihajar oleh kawanan yang lebih besar. Mencoba menolong mereka membuat saya hampir terlibat perkelahian lebih jauh, kalau saja tidak dihadang oleh teman yang pintar bahasa jawa dan mengajak pemuda-pemuda itu bicara dengan akrab.

Itulah yang dihadapi di luar: panas matahari, polusi, dan tidak terjaminnya keamanan. Asupan makanan mereka tak pernah baik. kalau mereka sakit, mereka harus puas istirahat di ruangan yang pengap di rumah mereka yang cuma beberapa petak dan berdinding bambu. Seringkali pejuang KOMP-PAS menjenguk anak-anak jalanan itu ke rumah mereka kalau sedang sakit. Para pejuang patungan membeli buah-buahan dan obat, mentraktir mereka semua makan selepas belajar rutin setiap hari minggu. Dengan ruangan pengap itu, tak jarang anak-anak yang sakit malah tambah parah.
Rumah mereka itu, yang kecil dan pengap itu, masih menyewa pada seorang haji tak jauh dari komplek kumuh mereka yang penuh sampah menggunung itu. Haji tersebut punya rumah yang tak bisa dibilang kecil: halamannya muat untuk dua mobil dan di terasnya ada meja bilyard. Disini, KOMP-PAS menghadapi persoalan yang lebih kompleks dari Tumpang. Mereka melihat ketimpangan yang lebih parah dibanding desa. Dengan watak kultural kota yang cenderung ganas lantaran telah lama dididik untuk bersaing ketat dalam hidup hingga setiap orang seperti belajar untuk tidak peduli pada satu sama lain, anak-anak jalanan menjadi amat rentan. Semakin mereka dewasa, semakin mereka muak dengan keadaan rumah, dan semakin bulat keputusan mereka untuk meninggalkan keluarga, total hidup di jalanan. Otak para pejuang itu berpikir dua kali lipat mencari metode mengajar yang lebih cocok diterapkan pada anak-anak jalanan. Itu juga artinya, mereka belajar dua kali lebih giat lagi, demi memahami keadaan dengan tepat.

Perjuangan mereka tak sekedar mengajar: tak jarang, ketika mereka mengajar di sebuah taman, mereka didatangi preman-preman dewasa, yang meminta setoran pada anak-anak yang kebetulan sedang mereka ajar. Mereka kadang menghadapi teror di jalanan. Semua itu demi memenuhi hak-hak asazi anak-anak bangsa kita sendiri, yang belum (tidak?) mampu dipenuhi dan dijamin oleh negara secara merata. Mereka tidak tahu apa itu hak asazi, tapi mereka telah berjuang dengan cinta dan kepedulian pada sesama, sebagai modal terbesar, dengan perjuangan yang tak kalah hebatnya sejak mereka masih jadi mahasiswa.

Itulah yang saya dan teman-teman KOMP-PAS lakukan. Pada mulanya, ‘rasa’ tentang HAM itu segelas setiap pagi, kemudian menggerimis setiap hari. Menyegarkan tubuh jauh sebelum teori-teori tentang HAM itu saya kenal lebih dalam.
Maka, tak keterlaluan jika saya ganti sebutan untuk mereka, dari Pejuang KOMP-PAS, menjadi Pejuang HAM (Human Rights Defender).

Segerimis HAM setiap hari, selalu.
Berkenalan dengan Mas Hasnan dan PSIF membawa saya perlahan mengenal PUSAM (Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme). Pada tahun-tahun ketika saya sedang aktifnya di KOMP-PAS, saya juga beberapa kali diikutkan oleh Mas Hasnan dalam program-program pelatihan yang diselenggarakan PUSAM, dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang tidak begitu asing di telinga saya, seperti Mbak Asvin, Pak Budi Munawar-Rachman, dan Pak Ihsan Ali-Fauzi. Kepada PUSAM umumnya, dan kepada tokoh-tokoh tersebut khususnya, saya mengucapkan terima kasih banyak, telah membuka cakrawala lain dalam gugusan pemikiran saya yang masih seperti taman kecil ini, belum membelantara. Mereka memberi saya awal yang baik, kesempatan yang bagus mengenal banyak macam perjuangan kemanusiaan berikut basis pemikirannya. Buat saya, memberi kesempatan dan harapan baru pada manusia lain adalah tindakan mulia.

Pertemuan itu, saya ingat betul, ada di gedung Kampus II UMM. Banyak yang tokoh-tokoh itu bagikan pada kami. Dari forum itulah saya mengerti apa yang selama ini diributkan orang-orang. Itulah kali pertama saya melihat berbagai dokumen kovenan HAM, membacanya secara langsung. Dengan panjang lebar tokoh-tokoh itu memberikan gambaran lebar mengenai sejarah HAM sejak mula, penggalian nilainya dari ajaran-ajaran agama dan tradisi lokal di berbagai peradaban, menjelaskan tragedi-tragedi yang pernah terjadi, dimana nilai-nilai HAM itu dilecehkan, tak dianggap ada.

Dari mereka juga saya mengerti, HAM tidak pernah seburuk yang ditampakkan orang-orang di media massa. HAM bukanlah monster dengan wajah polos dan kuku panjang yang bisa merobek-robek kehidupan relijus sebuah masyarakat. HAM itu, ya, HAM. Tak lain dan tak bukan merupakan sekumpulan hak-hak dasar yang memang setiap manusia hidup di atas bumi ini berhak atas itu semua. Manusia berhak terjamin kehidupannya, terjamin kesehatannya, terbebas dari rasa takut dan disingkirkan, terjamin keadaan ekonominya, berhak hidup bahagia, dan terbantu ketika sedang kesulitan, berhak atas pendidikan dan kerja yang bermartabat, berhak terlindung dari eksploitasi manusia-manusia serakah, baik serakah atas harta dan kekayaan alam, ataupun serakah atas kekuasan formal maupun sosial.

HAM itu, ya, HAM, sebagaimana kita merasa ngeri dan tidak ingin dikucilkan, rumah dibakar hanya karena berbeda pendapat, nyawa diteror setiap saat karena dianggap keliru dalam memilih dan menjalankan keyakinan. HAM itu, ya, HAM, sebagaimana kita ingin Negara (sebagai alat pemenuh kebutuhan rakyat dalam perspektif dunia masa kini) bermain adil dengan tidak korupsi dana kesejahteraan pekerja dan tidak main nepotisme ketika menempatkan orang-orang dalam jabatan tertentu. HAM itu, ya, HAM, sebagaimana kita ingin negara menjamin kita mendapatkan pendidikan yang murah, berharap harga barang tetap stabil, tidak diancam bayang-bayang perang dengan negara lain, dan mendapatkan pelayanan sempurna ketika sakit. HAM itu, ya, HAM, dan para pejuang HAM memperjuangkan penerapannya di semua lini, dengan terus menerus mendesak negara untuk memenuhinya.

Tentu akan sulit menerima HAM dengan pengertian seluas itu, bagi mereka yang tidak banyak membaca dan hanya mengunyah informasi dari media-media tidak netral yang bertebaran di dunia maya. Tentu sedikit susah menerima HAM dengan pengertian sebiasa itu, bagi mereka yang tidak banyak memperhatikan realitas sosial di sekitar mereka dengan kacamata yang tepat. Mereka tidak tahu bahwa Negara berkewajiban memenuhi hak-hak dasar mereka. Mereka tidak mengerti bahwa di luar sana, ada banyak sekali orang yang dijatuhkan oleh ketidak-adilan hukum lantaran lawan mereka membayar hakim dengan tinggi sekali. Mereka tidak banyak melihat bahwa di luar sana, ada banyak sekali orang yang rentan dengan penyiksaan, pengucilan, pem-bully-an, dan pembunuhan. Ada banyak sekali orang lapar karena bodoh, dan mereka dianggap bodoh karena mereka tidak sekolah lantaran malas, padahal motifnya sangat beragam, dan kebanyakan mereka keluar dari sekolah lantaran guru-guru yang tidak tahu cara mendidik dengan baik dan benar. Ada banyak sekali orang yang tidak aman karena berperang, rumah mereka hancur berantakan, diadu domba oleh kepentingan asing, saling serang antar tetangga.

Ketakutan membayang setiap saat, dan harapan seakan menjadi barang rongsokan. Mereka tidak pernah tahu itu. Mereka tidak mau mengerti itu. Buat mereka, dunia hanya sebatas apa yang mereka lihat di sekitar itu-itu saja. Mereka dengan keras menolak HAM, lantaran yang mereka tahu tentang HAM hanyalah tentang pembolehan berpikir bebas, pindah agama seenak jidat, berekspresi semaunya tanpa peduli perasaan orang lain, dan akan berteriak-teriak menuduh mereka yang menasehatinya dengan sebutan pelanggaran HAM. Padahal bukan itu. Padahal instrumen HAM sebagai hukum bukan begitu cara kerjanya.

Persoalan Sampingan Yang Perlu Dipikirkan
Namun, ketakutan masyarakat luas di negeri yang notabene relijius ini juga tidak bisa diabaikan. Mereka punya alasan yang cukup kuat.

Pertama, HAM jelas-jelas merupakan bagian dari proyek politik negara barat, yang berkepentingan atas eksploitasi kekayaan negara-negara ketiga dan kepentingan bisnis internasional mereka sendiri, tak peduli betapa HAM nampak sengaja dibalut dengan argumen-argumen filosofis dan sejarah kejahatan kemanusiaan manapun. Kenyataan ini diperkuat dengan perasaan banyak orang bahwa, selama ini, negara-negara ketiga-lah yang menjadi korban atas berbagai penindasan itu, lalu mereka lantas ditawari instrument HAM oleh negara-negara yang menjajah mereka. Kan, lucu logikanya. Wajar jika banyak kelompok yang menyebut bahwa HAM dan demokrasi tak lain dan tak bukan merupakan alat penjajahan imperialisme yang baru.

Kedua, dari sekian banyak instrument HAM, yang selalu diributkan adalah hak atas kebebasan berekspresi dan beragama. Seminar-seminar yang digalakkan juga selalu tentang itu (entahlah saya yang kurang mengerti bahwa di luar ada banyak forum resmi penggalian HAM dengan tema-tema lain). Perkara ini menjadi semakin rumit karena semakin banyaknya orang yang lebih mementingkan show off pemikiran mereka yang berlawanan dengan keyakinan umum masyarakat, ketimbang melakukan transformasi dengan strategi yang perlahan, sebagai bentuk kesadaran bahwa isu yang mereka bawa mungkin sensitif. HAM berubah konotasinya, dari kerja pembebasan menjadi pamer kebebasan.

Ketiga, sebagai konsekuensi dari poin kedua, tentu saja instrumen HAM yang lain, seperti hak-hak
EKOSOB yang bersifat derogable menjadi tidak dianggap ada. Perjuangannya memang tidak pernah didengar. Parahnya, saking sentralnya isu kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan didukung argumen-argumen pintar, masyarakat juga semakin anti dengan tradisi intelektual yang telah susah payah dibangun pelan-pelan oleh banyak orang sebelumnya.

Kita tidak bisa menutup mata atas tanggapan masyarakat ini, dan tidak peduli, dengan menyebut masyarakat sebagai “elemen awam yang tidak banyak tahu, maka tak usah dihiraukan, jalankan saja program-program yang ada.” Tindakan tidak peduli semacam itu semakin menunjukkan bahwa memang HAM merupakan alat pengalih perhatian asing yang berusaha mengukuhkan kekuasaannya di negara-negara ketiga, dengan cara membuat masyarakat ribut-ribut sendiri.

Saya berkali-kali, di depan mahasiswa berbagai latar ideologi, dan para pelajar pondok pesantren, bicara tentang realitas sosial yang begitu memprihatinkan, dan langkah konkret apa yang harus diambil untuk menanggulangi itu, tanggung jawab apa yang memang kita emban sejak mula. Di akhir pembicaraan, saya selalu bilang, inilah perjuangan HAM, bahwa perjuangan menegakkan HAM adalah perjuangan cinta. Dengan pendekatan seperti itu, mereka mau mengerti, dan menerima dengan hati yang lapang nilai-nilai HAM. Mereka jadi tahu bahwa ternyata ada banyak sekali gerakan-gerakan penegakan HAM yang tidak melulu menuntut masyarakat menerima kebebasan berekspresi sampai kadang terasa kebablasan.

Kiranya, perlu ada langkah-langkah yang sehat demi mengubah perspesi masyarakat sendiri tentang pentingnya nilai-nilai HAM, menjelaskan secara komprehensif konsep-konsep universalnya, dengan bahasa-bahasa yang sederhana. Perlu ada pula sintesis-sintesis konsep besar HAM dengan khazanah lokal, dengan menggali kunci-kunci budaya itu sendiri. Langkah-langkah demikian menjadi penting, karena tanpa pemahaman searah dari masyarakat luas, maka semulia apapun nilai HAM itu, hanya akan menciptakan keributan yang tak elok dilihat di mata awam sekalipun. []



*Penulis adalah aktivis pendidikan anak jalanan dan seorang novelis yang senang dengan gagasan kemanusiaan universal.

0 komentar:

Posting Komentar