Flash News
Diberdayakan oleh Blogger.
Mail Instagram Pinterest RSS
Siapa Romadhon?

KEBEBASAN MIMBAR AKADEMIK DALAM LINGKUP KEBEBASAN AKADEMIK


 
 Oleh : Prof. Dr. Fuad Hassan *)


Sudah berulangkali perihal kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik dijelaskan artinya; namun masih saja terjadi tafsiran dan pemahaman yang keliru mengenai kedua pokok tersebut. Terkesan betapa dalam peralihan dari satu generasi civitas academica ke generasi selanjutnya lagi-lagi terjadi kekaburan dalam memahami arti kedua pokok itu. Kalau dalam suatu lingkungan akademik saja sudah mudah terjadi kekaburan arti, apalagi dalam masyarakat luas umumnya. Untuk menanamkan pemahaman yang tepat tentang kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik ada baiknya kita awali dengan catatan sejarah semasa mencuat permasalahan kebebasan dalam usaha mencari kebenaran. Di satu pihak ada anggapan bahwa kebebasan merupakan conditio sine qua non untuk berusaha mencapai kebenaran. Di lain fihak ada pendapat bahwa kebenaranlah yang akan membebaskan kita sebagaimana terkesan dari ungkapan 'the truth shall make you free'. Untuk mempertahankan fokus pada pembahasan sekitar masalah kebebasan akademik, kiranya perdebatan mengenai 'mana-dulu antara kebenaran dan kebebasan' dapat kita lampaui.

Baik juga kita sertakan catatan mengenai kebebasan sebagai hak eksistensial. Dalam pandangan eksistensialisme, setiap pribadi adalah kehadiran yang tidak atau belum selesai; setiap eksistensi selalu merupakan keberadaan (being) dalam proses menjadi (becoming). Inilah yang oleh para psikolog dinyatakan sebagai proses aktualisasi-diri dan pengukuhan eksistensi personal. Dalam proses aktualisasi-dirinya itu pun sesorang perlu merasakan adanya kebebasan dari berbagai pembatasan: aktualisasi-diri itu memerlukan keleluasaan ruang-gerak, sehingga individu ybs mendapat kebebasan untuk membuat pilihan di antara sejumlah altematif yang dihadapinya. Tapi penghayatan bebas dari keterbatasan saja baru merupakan penghayatan kebebasan yang sangat primer, bahkan primitif; artinya, setiap makhluk hidup niscaya akan berusaha membebaskan diri dari keterbatasan atau keterbelengguan tertentu. Dorongan demikian itu mudah difahami. Lain halnya kalau kebebasan itu sudah menjadi penghayatan dan menimbulkan pertanyaan 'kebebasan untuk apa?' Dengan kata lain: terdapat perbedaan mendasar antara penghayatan kebebasan sebagai ' freedom from…..' dan 'freedom to.....'. Yang belakangan ini menjadi peluang untuk bertindak berdasarkan pilihan; dalam kondisi ini berlaku semboyan: 'Eligo ergo sum'. Semboyan inilah yang menjiwai kebebasan eksistensial (existential freedom), yaitu kebebasan untuk bertindak membuat pilihan.

Kebebasan akademik bukan sekedar modus 'kebebasan dari…..' berbagai keadaan terkekang, terbelenggu, terpasung, dan berbagai keterbatasan lainnya, melainkan mendapatkan artinya sebagai modus 'kebebasan untuk ...' bertindak membuat pilihan. Berbeda dengan yang pertama, modus yang kedua terkait langsung pada suatu tanggungjawab, karena segala tindakan dilakukan dalam kebebasan sepenuhnya. 'Kebebasan untuk ...' tidak menghadapkan kita pada suatu imperatif. Melainkan meleluasakan kita membuat pilihan di antara berbagai alternatif. Keleluasaan ini pula
yang menjadikan 'kebebasan untuk ...' bertindak justru lidak terbebas dari tanggungjawab. Walaupun pernyataan ini mengandung paradoks, namun demikianlah sesungguhnya karena pada setiap tindakan yang dilakukan dalam kebebasan penuh selalu melekat dimensi etik. Demikianlah kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik merupakan kebebasan yang bermitra etik karena serentak disertai oleh kesadaran bertanggungjawab oleh pelakunya.

Munculnya tuntutan untuk mendapatkan hak kebebasan akademik harus difahami dalam konteks kesejarahan, yaitu dalam abad pertengahan, tatkala gereja merupakan pusat wewenang dan wibawa untuk mendalami berbagai masalah yang berkaitan dengan upaya mencari kebenaran filsafat dan ilmu. Kala itu upaya tersebut bukan saja dilakukan dalam lingkungan gereja, melainkan juga di luar gereja, yaitu di kalangan para ilmuwan. Namun karena pada masa itu masih berlaku asas ' faith-over-reason', maka bila terjadi perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan ilmuwan, maka dengan sendirinya pendapat lingkungan gereja (berdasarkan faith) diunggulkan atas pendapat kalangan ilmuwan (berdasarkan reason). Keabsahan pendapat dari lingkungan gereja itu bisa diperkuat oleh melalui pernyataan secara ex cathedra (= dari mimbar), yang dalam hal ini berarti dari mimbar gereja.

Selama abad pertengahan perbedaan pendapat antara kalangan gereja dan ilmuwan sering menimbulkan pertentangan yang tak terselesaikan. Perbedaan pendapat itu mungkin saja berlangsung sekedar dalam posisi kesejajaran ( juxta-position) tanpa saling berbenturan, dalam hal mana tidak terjadi sengketa dengan konsekwensi serius. Lain halnya kalau perbedaan pendapat itu terjadi dengan pengambilan posisi yang saling berlawanan (contra-position). Misalnya, ketika fihak gereja berpegang pada pendapat bahwa dunialah yang dikitari matahari (geocentrism) dengan berbagai alasan yang lebih didasarkan pada keimanan, Nicholaus Copemicus (1473-1543) - seorang astronom Polandia - melalui observasi empirik dan perhitungan matematik yang cermat sampai pada kesimpulan yang menyatakan bahwa mataharilah merupakan pusat yang dikitari oleh benda-benda angkasa lainnya (heleocentrism). Karena gereja berpegang pada geosentrisme sebagai ajaran resmi, maka heleosentrisme dianggap merupakan penyimpangan dan penganutnya bisa dikenai hukuman ekskomunikasi. Demikianlah contoh pemberlakukan asas 'faith-over-reason' manakala terjadi pertentangan pendapat antara fihak gereja dan para ilmuwan.

Karena kuatir menghadapi konsekuensinya, maka Copernicus menangguhkan penerbitan karyanya yang berjudul "De Revolutionibus Orbium Coelestium" sampai hampir 20 tahun. Namun demikian, secara sembunyi naskahnya beredar dalam kalangan yang makin luas, schingga makin banyak penganut heleosentrismc yang dirintis oleh Copernicus itu. Meluasnya penganut heleosentrisme itu dianggap dapat mengoyahkan para penganut geosentrisme sebagai ajaran resmi, sehingga dianggap perlu untuk menindak tegas para penganut Copernicus. Demikianlah seorang pendeta Dominikan yang mcnganut pandangan Copernicus, Gioroano Bruno (1548-1600), dijatuhi hukuman bakar pada tiang pancang; nasib yang sama dialami oleh filsuf Italia. Lucilio Vanini (1585-1619). Ilmuwan tenar lainnya yang terkena hukuman berat ialah Galileo Galilei (1564-1642). la berhasil menciptakan teleskop yang efektif untuk melakukan pengamatan terhadap sistem galaksi. berdasarkan pengamatannya ia menegaskan dukungannya terhadap heleosentrisme; karena kegigihannya mendukung teori Copernicus maka dinyatakan terkutuklah segala karyanya dan kepadanya dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup. Demikianlah beberapa contoh peristiwa yang terjadi semasa berlakunya asas ' Faith-over-reason'. Masih banyak lagi yang dapat dikemukakan sebagai gambaran mengenai kemungkinan terjadinya kesenjangan dan pertentangan pendapat antara kalangan gereja dan para ilmuwan. Tidak jarang perbedaan itu berkepanjangan sebagai pertentangan berlarut dan berkesudahan dengan fihak ilmuwan sebagai korbannya.

Perkembangan ilmu yang mulai pesat menghasilkan berbagai temuan dan pernyataan pendapat tidak selalu sejalan dengan pandangan kalangan gereja. Makin lama makin banyak terjadi benturan antara hasil perenungan dalam lingkungan gereja dan pemikiran di kalangan ilmuwan. Seiring dengan perkembangan tersebut, masyarakat ilmuwan makin berhasrat untuk membedakan diri dari lingkungan gereja sejauh kegiatannya bersangkutan dengan ikhtiar mencari kebenaran ilmiah (Scientific truth) melalui penalaran (reasoning). Dalam ikhtiar tersebut perlu pertama-tama dibedakan antara pandangan yang berorientasi pada dalil-dalil keimanan di satu fihak dan pendekatan yang berdasarkan pada pengamatan dan penalaran. Demikianlah diterimanya sesuatu kebenaran bisa merupakan konsekuensi tindakan keimanan (act ofraith). dan bisa juga sebagai konsekuensi tindakan penalaran (act of reason). Perkembangan ini merintis diterimanya kesepakatan, bahwa di samping adanya kebenaran yang diterima berdasafkan keimanan, juga ada kebenaran yang diterima melalui penalaran. Faith dan reason tidak perlu satu terhadap lainnya saling ditempatkan a pirori pada posisi saling bertentangan, apalagi dalam perbandingan superior-inferior. Demikianlah tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan ilmuwan tanpa ada keharusan untuk secara a priori mengunggulkan posisi yang satu terhadap lainnya.

Kesenjangan antara "Usaha mencari kebenaran melalui tindakan keimanan dan tindakan penalaran tidak perlu saling menyisihkan (mutually exclusive).masing-masing memiliki alasannya; tiap orang berhak menerima sesuatu kebenaran sebagai konsekwensi dari tindakan keimanannya, dan begitu pula tiap orang berhak menerima kebenaran berdasarkan tindakan penalarannya. Kesenjangan antara kedua ranah tersebut makin melebar sejalan dengan makin meluasnya kalangan filsuf yang menganut Averroisme (dbp Siger dari Brabant, ca 1270). Averroès (=Ibn Rushd, 1126-98) seorang filsuf yang berhasil menerjemahkan dan menafsirkan filsafat Aristoteles yang sudah berabad-abad terlupakan; dengan demikian ia berhasil menghidupkan kembali perhatian kalangan filsafat di Eropa pada pemikiran Aristoteles, termasuk mengenai kecerdasan dan kejiwaan manusia. Rasionalisme yang dibawa serta oleh Averroisme berlanjut hingga memasuki era renaissance yang ik!imnya justru semakin menyuburkan berseminya berbagai aliran filsafat serta cabang ilmu. Pesatnya perkembangan berbagai disiplin ilmu makin menunjukkan betapa ilmu merupakan manifestasi yang otonom. Laju kemajuan ilmu ternyata berlangsung sebagai proses pemekaran atas perkembangannya sendiri. Kenyataan ini mendorong para ilmuwan untuk menuntut diakuinya otonomi keilmuan, daln tuntutan ini pada gilirannya menimbulkan tuntutan berikutnya yaitu diakuinya otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan ilmiah.

Kesenjangan tersebut mulai dapat diterima ketika di Paris pada awal abad ke-12 bermunculan pusat-pusat belajar yang bisa dianggap cikal-bakal perguruan tinggi. Seiring dengan perkembangan itu, pergaulan dalam kalangan ilmuwan dan cendekiawan di Paris makin meluas. Mereka ini kemudian membentuk sebuah perhimpunan yang disebut universitas magistrorum et schofarum. Perhimpunan ini sangat penting artinya dalam sejarah pendidikan tinggi karena berhasil mendapat pengukuhan statusnya yang otonom berdasarkan dekrit pimpinan tertinggi gereja. Dengan status tersebut badan ini dileluasakan untuk menyelenggarakan kegiatan studi serta pengembangan pemikiran dalam lingkungannya masing-masing. Badan ini kemudian berubah sebutannya menjadi universitas literarum, yang berarti perguruan tinggi kesusastraan dalam arti Iuas dan meliputi studi filsafat. Dalam lingkungan ini diselenggarakan studium generale sebagai cara pembelajaran, yaitu dilakukannya kajian mengenai berbagai permasalahan umum yang dianggap perlu difahami dan diusahakan penyelesaiannya. Demikianlah studium generale merupakan salah satu bentuk keterlibatan kalangan perguruan tinggi dengan masyarakat luas. Bentuk lain yang kemudian lahir ialah collegium yang menyelenggarakan studi untuk disiplin ilmu tertentu melalui sistem perkuliahan.

Dengan perkembangan tersebut maka perguruan tinggi menjadi wadah bagi suatu masyarakat yang dikenal sebagai civitas academica. Dalam masyarakat akademik ini berlaku proses pembelajaran yang khas pula. Pada pagi hari disajikan lectiones (kuliah) oleh para pengajar, dan petang harinya disusul dengan acara disputationes (pembahasan) antara para pengajar dan murid-muridnya maupun antara sesama murid. Dari bahan perkuliahan dan pembahasan itu mungkin saja timbul berbagai quaestiones (pertanyaan) yang jawabannya perlu ditemukan dan dirumuskan bersama-sama. Dari metode tersebut tergambar bahwa proses pembelajaran pada perguruan tinggi berciri sebagai discourse yang aktif antara pengajar dan murid maupun antara sesama murid. Dengan demikian terwujudlah suasana akademik (academic atmosphere) sebagai cirikhas interaksi antara sesama warga civitas academica. Discourses juga terjadi melalui penyelenggaraan berbagai forum pertukaran pandangan, seperti a.l. simposium, seminar, diskusi panel, masing-masing dengan tatatertibnya. Dalam semua bentuk kegiatan ini berlaku kebebasan akademik, yaitu hak warga masyarakat akademik untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya secara bebas berdasarkan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Kebebasan akademik selalu terkait pada pertanggungjawaban; dalam hal ini jelaslah bahwa kebebasan akademik erat kaitannya dengan kaidah susila akademik. Kebebasan mimbar akademik jangan disamakan artinya dengan 'mimbar bebas' yang diselenggarakan dalam rangka suatu peristiwa publik, seperti demonstrasi, gerakan protes, dsb. Contoh perwujudan 'mimbar bebas' terkenal ialah yang biasa diselenggarakan di Hyde Park, London.

Demikianlah sejalan dengan diakuinya otonomi keilmuan, maka kalangan para ilmuwan bukan saja mengharapkan diakuinya kebebasan akademik sebagai hak civitas academica, melainkan juga berlakunya kebebasan mimbar akademik bagi mereka yang memenuhi prasyaratnya. Kebebasan akademik berlaku bagi scgenap warga civitas academica, baik para mahasiswa maupun mahaguru (sebutan semula yang kemudian diganti dengan gurubesar). Kebebasan akadeniik berlaku bagi setiap anggota civitas academica untuk melakukan studi, penelitian serta pembelajaran ilmu kepada dan antara sesama warga civitas academica. Kebebasan akademik inilah yang harus menjadi semangat dalam penyelenggaraan berbagai bentuk discourses di antara sesama warga civitas academica. Adapun kebebasan mimbar akademik memang merupakan hak bagi sekalangan terbatas di antara para akademisi, yaitu mereka yang diakui memiliki wewenang dan wibawa ilmiah untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya ex cathedra academica (dari mimbar akademik) mengenai sesuatu yang berkenaan dengan disiplin ilmunya. Diakuinya wewenang dan wibawa itu tentunya didasarkan pada terpenuhinya berbagai persyaratan serta reputasi ybs sebagai akademikus.

Dengan diakuinya kebebasan mimbar akademik maka berbagai pikiran dan pendapat yang dilancarkan dari mimbar akademik tidak perlu lagi selalu diungguli oleh pikiran dan pendapat dari mimbar gereja. Kegiatan perenungan dan pengembangan pemikiran tidak lagi terbatas dalam lingkungan biara dan gereja, melainkan juga ke dalam masyarakat luas. Sejalan dengan mulai berkembangnya perkotaan, maka ada kecenderungan untuk mendirikan sesuatu pusat belajar di tiap kota. Ini berarti bahwa perenungan dan pemikiran yang pada awalnya terbatas dalam lingkungan biara dan gereja, kemudian berkembang atas kemekarannya sendiri seiring dengan pertumbuhan pusat-pusat studi dalam masyarakat perkotaan. Kehadiran sesuatu pusat belajar bahkan bisa merupakan kebanggaan bagi masyarakat kota ybs. Dengan berlakunya asas kebebasan mimbar akademik maka para ilmuwan dan akademisi pun memperoleh kesempatan dan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan pendapat yang siap dipertanggungjawabkannya secara ilmiah. Kebebasan mimbar akademik merupakan privilese bagi akademisi yang berhak menyandangnya, namun privilese ini tidak terlepas dari pertanggungjawaban; kebebasan mimbar akademik dalam lingkup kebebasan akademik dipandu oleh norma-norma (norms) dan kaidah-kaidah (codes) akademik.

Dengan berlakunya kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta diakuinya otonomi keilmuan, maka lengkaplah landasan untuk menjadikan tiap lembaga pada jenjang pendidikan tinggi sebagai wahana pembelajaran dengan ciri khasnya. Kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik sekaligus membuka kesempatan bagi warga civitas academica untuk saling menguji pikiran dan pendapat. Keterbukaan ini penting dijadikan sebagai semangat dalam segala discourses antara sesama warga masyarakat akademik, karena betapa hebatnya pun seseorang dalam penguasaan disiplin ilmunya, tak ada alasan baginya untuk beranggapan bahwa pikiran dan pendapatnyalah satu-satunya yang benar. Keterbukaan dalam discourses menjauhkan seorang dari arogansi akademik dan menghidupkan saling-toleransi dalam berbeda pendapat. Sebagai penutup baik direnungkan kutipan berikut ini dari buku Derek.Bok, Beyond the Ivory Tower  "Social responsibilities of the modern university", Hal"V a,d (Jli. Press, 1982), sbb:

"The function or the university is not to defirre and enforce proper moral or political standards for the society. It has not been asked to assume this role nor does it have the power to carry it out effectively. The function or the university is to engage in teaching and research of the highest attainable quality. When it strays from this task and tries to takc the place of public officials by rendering its own judgments on political questions, it runs intolerable risks of making unwise decisions, diminishing the quality or its faculty and exposing it self to continues pressure from all or the groups and ractions that may wish to impose their own political convictions on the university's work."
 
---------------------------------------
*) Prof. Dr. Fuad Hassan (mantan Mendiknas) dari Fakultas Psikologi.
Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah dalam rangka memperingati Dies Natalis UI ke-56, pada tanggal 2 Februari 2006,
 

0 komentar:

Posting Komentar